Sejak kedatangan
Bayu, posisi sebagai anak terpandai di kelas Ega harus tergeser. Kini Ega harus
rela menjadi yang kedua dihampir semua mata pelajaran. Hanya sekali Ega
mendapat nilai terbaik ketika ulangan yaitu di mata pelajaran Bahasa Inggris.
Sisanya Ega harus puas dibelakang Bayu.
“Sebenarnya apa
sih resep anak baru itu sehingga bisa menjadi juara terus? Aku jadi ingin
tahu,”ucap Bayu kepada sahabatnya Ario. Bayu merupakan siswa baru pindahan dari
luar Jawa. Orang tuanya kembali dari daerah transmigrasi untuk merawat Kakeknya
Bayu yang sering sakit-sakitan. Mereka mengalah karena saudara yang lain tidak
ada lagi.
“Mungkin dia
sering pergi ke dukun atau memang sudah ada bakat pintar dari lahir,”jawab Ario
sekenanya. Bayu merengut mendengar jawaban asal sahabatnya itu.
“Seumur hidupku
aku tidak pernah mencontek. Justru orang lain yang sering mengemis-ngemis minta
contekan padaku. Tapi untuk kali ini aku harus membuang jauh-jauh sikap
itu,”gumam Ega dengan suara bergetar.
“Maksud kamu
apa?”tanya Ario penasaran. Mulutnya menggembung penuh oleh makanan. Hobinya
memang makan. Makan apa saja yang penting perut kenyang. Tapi kemampuan
berpikirnya tetap biasa saja meskipun mendapat asupan makanan melebihi ukuran.
Hanya berat badannya saja yang semakin berisi dari hari ke hari. Prestasi
terbaiknya peringkat ke dua puluh di kelas.
“Aku akan tinggal
seharian di rumah Bayu untuk belajar dan mengamati kegiatannya sehari-hari. Aku
akan mencontek caranya menjadi anak yang pintar. Jika aku sudah tahu bagaimana
cara dia belajar, bagaimana cara dia mengerjakan tugas dan PR dari sekolah
serta cara dia mengatasi kesulitan belajar, aku pasti akan kembali menjadi
nomor satu!,”tekad Ega dengan tangan terkepal penuh keyakinan.
“Butuh teman
tidak? Aku bersedia menemani kalau kamu mau. Siapa tahu aku bisa kecipratan
pintar setelah ikut misi anehmu ini,”timpal Ario sok baik. Padahal maksud di
hati hanya berharap mendapat traktiran gratis saja dari Ega yang anak orang
kaya. Ega memang beruntung. Bapaknya seorang Direktur Perusahaan Elektronik
terkenal sedangkan Ibunya punya bisnis kecantikan yang tak kalah sukses. Cabang
perusahaannya ada di mana-mana. Mereka super sibuk. Pulang larut malam terus.
Ega dan Kakaknya hidup dengan pembantu sejak kecil. Mereka mandiri sejak lahir.
Dengan dukungan keuangan yang berlimpah, Ega merasa ia bisa membeli dan
mendapatkan apa saja. Namun keyakinannya ternyata keliru. Bayu telah membuka
matanya lebar-lebar. Kepintaran ternyata tidak bisa dibeli namun harus
diperjuangkan.
“Hei, Bayu. Minggu
besok aku mau main ke rumahmu, ya? Aku ingin suasana baru. Aku bosan di rumah
terus. Aku juga sudah bosan pergi ke mall atau main game setiap hari. Boleh,
ya?”pinta Ega penuh harap.
“Ehm...boleh sih.
Tapi aku Sabtu sore mau pulang kampung. Ayahku sedang sakit. Aku khawatir
sakitnya makin parah,”jawab Bayu sedih. Ega mengernyit heran.
“Memangnya kamu di
kota ini tinggal dengan siapa?”tanya Ega.
“Aku ikut adiknya
Bapak. Jadi sejujurnya aku di sekolahkan oleh Pamanku di kota ini karena orang
tuaku tidak mampu. Rumahku di kampung. Aku bukan berasal dari daerah ini. Kamu
mau ikut aku ke kampung?”Bayu balik bertanya.”Minggu malam aku sudah kembali
lagi ke sini.”
Ega berpikir
sejenak. Ternyata ada rahasia besar yang tidak diketahuinya selama ini. Ega
tidak punya pilihan, iapun mengangguk setuju. Sudah kepalang basah pikirnya.
“Kita naik apa
nanti?”tanya Ega walaupun dia sudah tahu jawaban Bayu.
“Bis. Lalu di
lanjutkan naik angkot sampai depan rumahku,”jawab Bayu. Ega garuk-garuk kepala.
Mendengar kata angkot, kepalanya langsung berdenyut sakit. Seumur-umur dia
belum pernah naik angkot. Kalau bis sih pernah, itupun yang bagus. Bis mewah
dan ber AC. Perjalanan belum dimulai tapi perutnya sudah mual dulu.
“Eh...bagaimana
kalau pakai mobil aku saja. Lebih cepat dan tentunya lebih nyaman,”usul Ega
dengan harapan disetujui. Ia tidak mau mabuk di perjalanan karena naik
kendaraan yang tidak layak. Walaupun tidak enak karena merepotkan Ega, akhirnya
Bayu setuju. Mereka kemudian berangkat pada Sabtu sore dengan mobil yang
dikendarai Pak Didit, sopir keluarga Ega. Kebetulan Pak Didit sedang menganggur
karena kedua orang tua Ega sedang berada di luar negeri untuk urusan bisnis.
Setelah menempuh
tujuh jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya tibalah mereka di Desa Sumber
Intan, kampung asal Bayu. Sebuah desa yang masih asri dan alami karena jauh
dari kota. Penduduknya sebagian besar petani. Mereka menanam padi di sawah dan
berkebun palawija di ladang. Banyak juga yang memelihara ternak seperti ayam,
bebek, kambing dan sapi. Hampir semua rumah memiliki kolam atau empang di depan
maupun di belakang rumah.
Kedatangan Bayu
dan Ega mengejutkan keluarga Bayu. Mereka menyambut dengan ramah. Ega senang
sekali karena mendapat sambutan hangat. Ia merasa nyaman tinggal di rumah Bayu
yang sederhana. Rumahnya kecil berdinding papan dan berlantai semen. Meski
kecil namun bersih. Di rumah inilah tinggal orang tua Bayu, Pak Kasmin dan Bu
Mira serta dua orang adiknya yang masih kecil Gita dan Wawan. Ada juga Kakek
Bayu atau Ayah dari Pak Kasmin yang menjadi penyebab kenapa keluarga ini
kembali dari tanah trans.
Pak Kasmin selain
menjadi buruh tani juga bekerja sebagai pembuat gula kelapa. Sedangkan Bu Mira,
ibu rumah tangga biasa yang membantu suaminya membuat gula kelapa atau gula
jawa. Malam itu, Ega dan Bayu tidur di ruang tamu beralaskan tikar dan karpet
sedangkan Pak Didit tidur di kamar depan bersama Kakek Ega. Rumah Bayu hanya
mempunyai tiga kamar yang sempit, jadi Ega harus mau tidur dalam kondisi
seperti itu.
“Ya, beginilah
kehidupanku, Ega. Keluargaku yang serba kekurangan membuat aku tidak bisa
bersenang-senang seperti anak yang lain. Sepulang sekolah, aku biasanya
membantu Bibi membuat kue sementara Paman bekerja di bengkel. Aku beruntung
karena Paman mau menyekolahkan aku. Padahal dua orang anak mereka sedang kuliah
juga di perguruan tinggi yang membutuhkan biaya tidak sedikit,”jelas Bayu malam
itu ketika mereka menonton TV.
“Terus bagaimana
cara kamu membagi waktu untuk belajar serta mengerjakan tugas-tugas dari
sekolah?”tanya Ega seperti seorang detektif yang tengah menginterogasi
tersangka kriminal.
“Tentu saja
setelah aku selesai membantu Bibi. Atau kapanpun ada waktu luang aku selalu
membaca catatan-catatan kecil yang kubuat untuk membantuku memahami
pelajaran,”tambah Bayu sambil memperlihatkan buku kecil sebesar telapak tangan
yang ia simpan di saku celananya. Di situ ada catatan pelajaran yang telah
diringkas sedemikian rupa. Ega mulai memahami cara belajar Bayu dan berharap bisa
menirunya.
Hal lain yang ia
pelajari dari Bayu adalah ketaatannya beribadah. Ia tidak pernah meninggalkan
shalat. Pada hari Senin dan Kamis, Bayu berpuasa. Ia tidak pernah lupa berdoa
untuk kedua orang tua dan adiknya. Untuk menjaga kesehatan, Bayu sangat senang
bermain bola dan lari pagi.
Minggu pagi, Bayu
mengajak Ega membantu ayahnya mengambil air kelapa untuk dibuat gula jawa
karena sakit ayahnya belum sembuh benar. Sudah empat hari lamanya beliau
terkena influenza. Sekarang keadaannya sudah mulai membaik. Ega terkesima
melihat kemahiran Bayu memanjat kelapa. Pagi itu Bayu berhasil memanjat 11
batang kelapa untuk di ambil airnya (badek). Setelah itu ia mengajak Ega ke
sawah untuk menangkap belut. Mereka sukses mendapatkan lima ekor belut berukuran
besar yang akan dijadikan lauk makan siang oleh Bu Mira.
“Sudah lima ekor
kita dapat. Bagaimana kalo kita pulang saja, Ga. Nanti ibuku yang memasaknya.
Kamu belum pernah makan sayur belut bukan?,”tanya Bayu. Ega mengangguk. Ini
memang pengalaman pertamanya ke sawah dan menangkap belut (urek-urek). Ega
menatap Bayu dalam-dalam. Sepertinya ia belum puas. Ada sesuatu yang mengganjal
di hati.
“Ijinkan aku
sekali lagi karena lima ekor itu kan, kamu semua yang menangkap,”pinta Ega
penuh harap seperti seorang anak kecil minta dibelikan permen. Bayu tersenyum
dan mengangguk setuju. Mereka lalu mencari lubang yang menjadi sarang belut di
tepian pematang sawah.
Setelah ketemu dan
dirasa ada belut di dalamnya, Ega lalu memasukkan umpan ke dalam liang
tersebut. Dengan sabar mereka menunggu hingga sebuah cengkeraman menarik
kuat-kuat pancing tersebut. Ega kewalahan. Keringat bercucuran membasahi
wajahnya. Namun Ega tidak menyerah. Ia terus menarik pancing sekuat tenaganya.
Ia menolak bantuan dari Bayu yang menjadi khawatir melihat keadaan tersebut.
Bayu berpikir ini pasti belut raksasa yang lain dari biasanya.
Dugaan Bayu benar,
sebuah benda besar seukuran tangan orang dewasa dan panjang kehitaman tertarik
keluar dari dalam liang yang kecil itu.”Awas, Ega! Itu ulaaar!...”teriak Bayu
sambil menebaskan golok yang dibawanya ke arah leher sang ular. Ega langsung
berkelit ke samping menghindari terjangan ular aneh tersebut sehingga selamat.
Leher ular yang putus menggelepar kesana kemari. Darahnya bercucuran
kemana-mana.
“Ini ular apa,
Bayu? Uh...hampir saja aku di gigitnya andai kamu tidak cepat mengingatkan
tadi!”keluh Ega sambil menyeka keringat di dahinya. Napasnya naik turun.
Wajahnya kemerahan karena terkejut dan juga takut.
“Entahlah. Aku
belum pernah melihat ular seperti ini sebelumnya. Tapi kalo melihat bentuknya
sih, ini sepertinya ular air. Hanya saja baru sekali ini aku melihat ada ular
air sebesar ini,”jawab Bayu sambil memperhatikan tubuh ular yang perlahan-lahan
bersatu kembali dengan kepalanya yang putus. Ya, kepala dan tubuh ular itu
secara ajaib tersambung kembali. Wajah Bayu dan Ega langsung pucat pasi
dibuatnya. Tubuh mereka gemetar. Bibir mereka terkunci rapat.
“Kalian anak yang
hebat! Baru sekali ini aku mendapat lawan setangguh kalian. Kelak jika sudah
dewasa kalian akan bekerja sama dan membuat bangga negeri ini. Pulanglah, Nak.
Beristirahatlah di rumah...,”desis ular ajaib tersebut lalu menghilang entah
kemana.
Bayu dan Ega lalu
kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk tidak karuan memikirkan kejadian
yang baru saja mereka alami. Namun mereka bersepakat tidak akan memberitahukan
kejadian tersebut kepada siapapun. Biarlah hanya mereka dan tentu saja Tuhan
yang tahu.
Minggu sore, mereka
pulang. Ega puas karena dia berhasil memperoleh keinginannya. Mengetahui
rahasia pintar Bayu, Si Rangking Satu. Selain itu ia mendapat pengalaman luar
biasa yang akan selalu terkenang seumur hidupnya. Namun, apakah Ega berhasil
meniru Bayu? Oh, ternyata tidak. Bayu sudah terbiasa hidup menderita. Ia
bekerja keras sejak kecil. Sedangkan Ega, ia sudah terbiasa hidup
bermewah-mewah. Hidupnya serba berkecukupan. Tentu saja Ega tidak mungkin bisa
meniru kehidupan Bayu. Ega hanya lebih bersemangat setelah itu. Dan dalam
beberapa kesempatan ia sempat mengungguli Bayu, walaupun kembali berada di
bawahnya setelah itu.
Waktupun terus
berjalan. Kedua sahabat itu mampu meraih kesuksesan tentu dengan caranya
masing-masing. Bayu sukses karena kepandaiannya membuat ia sering mendapat
beasiswa bahkan hingga bersekolah ke Jepang. Sedangkan Ega dengan kekuatan
keuangan kedua orang tuanya berhasil sekolah hingga ke Amerika Serikat.
Ia mengembangkan
bisnis ayahnya dan memulangkan Bayu kembali dari Jepang untuk membantu perusahaannya.
Kedua sahabat itu bisa bersatu kembali bukan untuk bersaing tapi bahu membahu
saling bekerja sama menjadi yang terbaik.
Posting Komentar untuk "SAHABAT SEJATI TAK AKAN TERPISAHKAN #sahabatsejati"