Alkisah, Suatu
hari warga Desa Pathok, Jawa Tengah, akan mengadakan sedekah bumi sebagai rasa
syukur mereka atas suksesnya panen tahun ini. Mereka mengadakan berbagai acara
berupa hiburan rakyat seperti pertunjukan tari-tarian tradisional, gelar wayang
kulit maupun kuda lumping serta acara yang paling dinanti yaitu kenduri
bersama.
Selain memotong
kambing dan ayam, mereka juga mencari hewan buruan di hutan. Kaum laki-laki
baik tua maupun muda keluar masuk hutan mencari hewan buruan. Namun anehnya
tidak ada satupun kijang, babi ataupun banteng hutan yang menampakkan diri.
Hingga sore menjelang tangan mereka masih kosong. Tidak ada satu ekorpun hewan
buruan yang berhasil ditangkap.
Karena kesal dan
kelelahan, seorang laki-laki dari mereka lalu beristirahat di sebuah batang
pohon besar yang tumbang dan melintang di pinggir jalan setapak. Ia lalu
menancapkan pedangnya di pohon tumbang tersebut yang sudah mulai tertutup
lumut. Anehnya dari pohon yang tertancap pedang itu justru keluar darah segar
yang mengalir deras dan menimbulkan bau anyir menyengat. Warga segera mencari
tahu benda apa sebenarnya yang tengah di duduki oleh mereka itu.
“Teman-teman
semua, sepertinya nasib kita sedang baik. Ini bukanlah pohon tumbang, melainkan
ular raksasa yang tengah tertidur. Ayo kita potong ramai-ramai dan bawa ke desa
untuk dijadikan hidangan yang lezat!”jelas Kepala Desa yang memimpin perburuan
tersebut dengan wajah cerah karena akhirnya usaha mereka kali ini membuahkan hasil.
Mereka tidak tahu
jika ular yang mereka potong itu adalah Baru Klinthing, putra pertapa sakti Ki
Hajar Salokantara dengan istrinya, Nyai Selakanta yang berasal dari Desa
Ngasem. Baru Klinthing sedang memperdalam ilmu kanuragan dengan bertapa melingkari
Gunung Telomoyo.
Jika warga Desa
Pathok tahu, mereka pasti akan mengurungkan niatnya menjadikan Baru Klinthing
sebagai santapan mereka karena akibat dari perbuatan mereka itu sungguh luar
biasa.
Ular raksasa Baru Klinthing lalu berubah
wujud menjadi seorang anak kecil yang kurus kering dan berbau amis seperti anak
yang tidak pernah mandi selama berhari-hari. Ia lalu bergabung dengan warga
Desa Pathok yang tengah mengadakan syukuran sedekah bumi. Namun ketika ia
meminta makan dan minum, tidak ada satupun penduduk desa yang mau memberi.
Semua orang yang ditemui selalu menghardik dan mengusirnya dengan kasar.
“Pergi kau
pengemis kecil jorok dan bau! Makanan di perutku bisa muntah kembali jika terus
melihatmu! Sana mengemislah di tempat lain. Di sini tidak ada tempat
untukmu!”bentak salah seorang penduduk seraya mengayunkan tongkat untuk
mengusir Baru Klinthing. Air mata mengalir membasahi pipinya yang tirus.
Sungguh kejam perlakuan penduduk Desa Pathok. Mereka memang orang kaya, tapi
hati dan perangainya amatlah miskin, jauh dari sifat dermawan dan belas kasih.
Di tengah keputus asaannya,
Baru Klinthing tiba di sebuah rumah sederhana milik salah seorang penduduk desa
bernama Nyi Latung.
“Masuklah ke dalam
rumahku, Nak. Jangan menangis di luar seperti itu. Jika kau kelaparan, Nenek
ada sedikit makanan untukmu,”pinta Nyi Latung sambil menggandeng Baru Klinthing
dengan lembut masuk ke dalam rumah. Baru Klinthing lalu menceritakan kejadian
yang baru saja ia alami dengan penduduk desa.
“Nenek mengerti
perasaanmu, Nak. Penduduk desa ini memang terkenal tamak dan sombong. Sifat
mereka dari ke hari semakin menjadi-jadi. Nenek yang coba mengingatkan mereka
malah dikucilkan seperti ini. Tapi tidak apa-apa. Nenek tidak marah. Suatu saat
Tuhan pasti akan membalas perbuatan mereka itu,”terang Nyi Latung sambil
menyiapkan hidangan sederhana untuk Baru Klinthing. Ada nasi dan sayur lodeh
serta tempe goreng sebagai lauknya.
Walaupun tidak
mewah, Baru Klinthing sangat menikmati hidangan tersebut. Setelah selesai makan
dan beristirahat secukupnya, ia lalu pamit pada Nyi Latung yang tinggal seorang
diri. Sebelum pergi Baru Klinthing berpesan kepada Nyi Latung untuk segera naik
ke atas lesung dan menyiapkan kayuh jika tiba-tiba terdengar suara kentongan
bertalu-talu.
Nyi Latung
menyimak baik-baik pesan itu karena ia tahu bahwa anak kecil yang baru saja
ditolongnya bukanlah anak biasa.
Baru Klinthing
lalu pergi ke lapangan desa tempat para penduduk tengah berpesta. Di tengah
kerumunan orang banyak, ia menancapkan sebuah batang lidi dan menantang siapa
saja untuk mencabutnya.
“Di dalam kantung
yang tengah aku genggam ini, ada puluhan keping uang emas yang akan aku berikan
bagi siapa saja yang berhasil mencabut lidi di hadapanku ini,”ucap Baru
Klinthing lantang dan membuat mata semua orang terbelalak. Mereka kaget sekali
karena ternyata pengemis kecil yang mereka usir tadi memiliki kekayaan luar
biasa.
Di dorong oleh
rasa tamak dan rakusnya, para penduduk desa lalu maju satu persatu untuk
mencabut lidi yang ditancapkan Baru Klinthing. Namun hingga orang terakhir,
tidak ada satupun yang berhasil. Bahkan meski coba dicabut beramai-ramai,
mereka tetap gagal.
Baru Klinthing
lalu maju dan mencabut sendiri lidi yang ia tancapkan di tanah. Sejurus
kemudian keluarlah air yang memancar deras dari bekas lubang cabutan lidi
tersebut. Para penduduk desa memukul kentongan bertalu-talu untuk memberi tahu
yang lain agar menyelamatkan diri karena muncul banjir bandang secara
tiba-tiba. Namun betapapun keras usaha mereka, tidak ada satupun yang selamat
dari sapuan air bah tersebut.
Semuanya tewas
tenggelam kecuali janda tua yang memberi makan Baru Klinthing tadi. Nyi Latung
selamat dan berhasil keluar dari desanya yang kini telah berubah menjadi sebuah
kolam raksasa yang kemudian diberi nama Rawa Pening.
Posting Komentar untuk "BARU KLINTHING (Asal Mula Rawa Pening) #rawapening #baruklinthing"