BARU KLINTHING (Asal Mula Rawa Pening) #rawapening #baruklinthing


Alkisah, Suatu hari warga Desa Pathok, Jawa Tengah, akan mengadakan sedekah bumi sebagai rasa syukur mereka atas suksesnya panen tahun ini. Mereka mengadakan berbagai acara berupa hiburan rakyat seperti pertunjukan tari-tarian tradisional, gelar wayang kulit maupun kuda lumping serta acara yang paling dinanti yaitu kenduri bersama.
Selain memotong kambing dan ayam, mereka juga mencari hewan buruan di hutan. Kaum laki-laki baik tua maupun muda keluar masuk hutan mencari hewan buruan. Namun anehnya tidak ada satupun kijang, babi ataupun banteng hutan yang menampakkan diri. Hingga sore menjelang tangan mereka masih kosong. Tidak ada satu ekorpun hewan buruan yang berhasil ditangkap.
Karena kesal dan kelelahan, seorang laki-laki dari mereka lalu beristirahat di sebuah batang pohon besar yang tumbang dan melintang di pinggir jalan setapak. Ia lalu menancapkan pedangnya di pohon tumbang tersebut yang sudah mulai tertutup lumut. Anehnya dari pohon yang tertancap pedang itu justru keluar darah segar yang mengalir deras dan menimbulkan bau anyir menyengat. Warga segera mencari tahu benda apa sebenarnya yang tengah di duduki oleh mereka itu.
“Teman-teman semua, sepertinya nasib kita sedang baik. Ini bukanlah pohon tumbang, melainkan ular raksasa yang tengah tertidur. Ayo kita potong ramai-ramai dan bawa ke desa untuk dijadikan hidangan yang lezat!”jelas Kepala Desa yang memimpin perburuan tersebut dengan wajah cerah karena akhirnya usaha mereka kali ini membuahkan hasil.
Mereka tidak tahu jika ular yang mereka potong itu adalah Baru Klinthing, putra pertapa sakti Ki Hajar Salokantara dengan istrinya, Nyai Selakanta yang berasal dari Desa Ngasem. Baru Klinthing sedang memperdalam ilmu kanuragan dengan bertapa melingkari Gunung Telomoyo.
Jika warga Desa Pathok tahu, mereka pasti akan mengurungkan niatnya menjadikan Baru Klinthing sebagai santapan mereka karena akibat dari perbuatan mereka itu sungguh luar biasa.
Ular raksasa Baru Klinthing lalu berubah wujud menjadi seorang anak kecil yang kurus kering dan berbau amis seperti anak yang tidak pernah mandi selama berhari-hari. Ia lalu bergabung dengan warga Desa Pathok yang tengah mengadakan syukuran sedekah bumi. Namun ketika ia meminta makan dan minum, tidak ada satupun penduduk desa yang mau memberi. Semua orang yang ditemui selalu menghardik dan mengusirnya dengan kasar.
“Pergi kau pengemis kecil jorok dan bau! Makanan di perutku bisa muntah kembali jika terus melihatmu! Sana mengemislah di tempat lain. Di sini tidak ada tempat untukmu!”bentak salah seorang penduduk seraya mengayunkan tongkat untuk mengusir Baru Klinthing. Air mata mengalir membasahi pipinya yang tirus. Sungguh kejam perlakuan penduduk Desa Pathok. Mereka memang orang kaya, tapi hati dan perangainya amatlah miskin, jauh dari sifat dermawan dan belas kasih.
Di tengah keputus asaannya, Baru Klinthing tiba di sebuah rumah sederhana milik salah seorang penduduk desa bernama Nyi Latung.
“Masuklah ke dalam rumahku, Nak. Jangan menangis di luar seperti itu. Jika kau kelaparan, Nenek ada sedikit makanan untukmu,”pinta Nyi Latung sambil menggandeng Baru Klinthing dengan lembut masuk ke dalam rumah. Baru Klinthing lalu menceritakan kejadian yang baru saja ia alami dengan penduduk desa.
“Nenek mengerti perasaanmu, Nak. Penduduk desa ini memang terkenal tamak dan sombong. Sifat mereka dari ke hari semakin menjadi-jadi. Nenek yang coba mengingatkan mereka malah dikucilkan seperti ini. Tapi tidak apa-apa. Nenek tidak marah. Suatu saat Tuhan pasti akan membalas perbuatan mereka itu,”terang Nyi Latung sambil menyiapkan hidangan sederhana untuk Baru Klinthing. Ada nasi dan sayur lodeh serta tempe goreng sebagai lauknya.
Walaupun tidak mewah, Baru Klinthing sangat menikmati hidangan tersebut. Setelah selesai makan dan beristirahat secukupnya, ia lalu pamit pada Nyi Latung yang tinggal seorang diri. Sebelum pergi Baru Klinthing berpesan kepada Nyi Latung untuk segera naik ke atas lesung dan menyiapkan kayuh jika tiba-tiba terdengar suara kentongan bertalu-talu.
Nyi Latung menyimak baik-baik pesan itu karena ia tahu bahwa anak kecil yang baru saja ditolongnya bukanlah anak biasa.
Baru Klinthing lalu pergi ke lapangan desa tempat para penduduk tengah berpesta. Di tengah kerumunan orang banyak, ia menancapkan sebuah batang lidi dan menantang siapa saja untuk mencabutnya.
“Di dalam kantung yang tengah aku genggam ini, ada puluhan keping uang emas yang akan aku berikan bagi siapa saja yang berhasil mencabut lidi di hadapanku ini,”ucap Baru Klinthing lantang dan membuat mata semua orang terbelalak. Mereka kaget sekali karena ternyata pengemis kecil yang mereka usir tadi memiliki kekayaan luar biasa.
Di dorong oleh rasa tamak dan rakusnya, para penduduk desa lalu maju satu persatu untuk mencabut lidi yang ditancapkan Baru Klinthing. Namun hingga orang terakhir, tidak ada satupun yang berhasil. Bahkan meski coba dicabut beramai-ramai, mereka tetap gagal.
Baru Klinthing lalu maju dan mencabut sendiri lidi yang ia tancapkan di tanah. Sejurus kemudian keluarlah air yang memancar deras dari bekas lubang cabutan lidi tersebut. Para penduduk desa memukul kentongan bertalu-talu untuk memberi tahu yang lain agar menyelamatkan diri karena muncul banjir bandang secara tiba-tiba. Namun betapapun keras usaha mereka, tidak ada satupun yang selamat dari sapuan air bah tersebut.
Semuanya tewas tenggelam kecuali janda tua yang memberi makan Baru Klinthing tadi. Nyi Latung selamat dan berhasil keluar dari desanya yang kini telah berubah menjadi sebuah kolam raksasa yang kemudian diberi nama Rawa Pening.

Posting Komentar untuk "BARU KLINTHING (Asal Mula Rawa Pening) #rawapening #baruklinthing"