Pada jaman dahulu
kala, di daerah Jawa Barat ada orang yang sangat kaya raya. Hartanya banyak
sekali. Dimakan hingga tujuh turunan tidak akan habis. Namun orang ini pelitnya
minta ampun. Meski sudah kaya, masih saja menimbun harta dan menyimpannya
dengan ketat. Orang ini dijuluki tetangganya dengan nama Pak Kikir.
Beruntung anak
semata wayangnya tidak memiliki watak yang sama dengan Ayahnya. Ia anak yang
dermawan. Sering membantu tetangganya yang kesusahan meski harus
kucing-kucingan dengan ayahnya agar tidak ketahuan.
Setiap kali panen
padi, Pak Kikir selalu membuat acara syukuran sebagai ungkapan terimakasih atas
berkah Tuhan yang tak terhingga. Acara ini dihadiri oleh seluruh penduduk desa.
Namun mereka seringkali kecewa dengan sikap Pak Kikir. Makanan yang dihidangkan
tidak enak rasanya karena Pak Kikir pelit bumbu. Bahan-bahannya tidak
berkualitas karena harganya yang murah. Belum lagi mereka yang tidak dapat
jatah makanan karena makanan dibuat pas. Tidak lebih dan tidak kurang. Padahal
ada saja kejadian yang membuat makanan itu jadi berkurang. Seperti tumpah,
dimakan kucing atau ada yang mengambil dua untuk anaknya atau ada orang baru di
desa. Namun telinga Pak Kikir tertutup rapat untuk hal seperti itu.
Hari itu ada
seorang nenek tua renta berpakaian lusuh meminta sedikit makanan pada Pak
Kikir. Ia mengaku belum makan seharian. Tubuhnya memang terlihat lemah dengan
langkah gontai hampir jatuh. Hanya tongkat penyangga yang dibawanya membuat
tubuhnya masih mampu berdiri.
“Maaf, Nek.
Makanan saya sudah habis. Lihatlah banyak sekali orang yang datang. Untuk
mereka saja saya kewalahan menyediakan makanan,”jawab Pak Kikir dihadapan
banyak orang yang menatapnya gemas dan kecewa. Tak adakah secuil rasa kasihan
pada pengemis tua itu di hati Pak Kikir? Pikir orang-orang itu.
“Kalau begitu
berilah saya sisa-sisa makanannya sedikit saja. Saya mau. Sebagai pengganjal
perut saya yang seharian belum diisi,”pinta Nenek pengemis mengiba.
“Kalau mau
sisa-sisa makanan, Nenek cari saja di tempat sampah! Barangkali ada yang
tercecer di sana,”jawab Pak Kikir dengan nada tinggi. Ia mulai emosi menghadapi
Nenek pengemis yang menurutnya tidak tahu diri. Pak Kikir lalu masuk ke dalam
rumah. Ia sudah malas menghadapi Nenek malang itu.
Nenek itu lalu
berlalu dari rumah Pak Kikir dengan berlinang air mata. Ia berjalan
terseok-seok meninggalkan rumah besar dan megah itu. Dari sudut lain, anak Pak
Kikir yang baik hati ternyata memperhatikan kejadian tersebut dengan seksama.
Setelah Ayahnya masuk rumah. Ia berlari mengejar Nenek pengemis tadi hingga ke
batas desa. Makanan yang menjadi jatahnya ia berikan kepada Nenek itu yang
langsung melahapnya hingga habis.
“Terimakasih, Nak,
atas kebaikanmu. Semoga Tuhan membalasnya dengan rejeki berlimpah. Semoga kamu
diberi umur panjang dan keselamatan sehingga bisa menolong orang lain yang
hidupnya tidak beruntung seperti Nenek,”ucap Nenek itu mendoakan anak Pak Kikir
yang segera kembali ke rumahnya.
Si Nenek Pengemis
lalu berjalan menuju ke puncak bukit yang ada di ujung desa. Dari sana ia dapat
melihat dengan jelas rumah besar dan megah milik Pak Kikir diantara rumah-rumah
warga lainnya yang lebih sederhana. Kemudian ia menancapkan tongkatnya ke tanah
dan mencabutnya lagi hingga meninggalkan lubang cukup dalam. Dari lubang itu
lalu memancarlah air yang cukup deras. Air itu mengalir menuju ke desa Pak
Kikir menjadi banjir. Air bah menerjang desa tanpa ampun. Anak Pak Kikir dengan
sigap mengarahkan warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
“Bagaimana dengan
rumah, uang, perhiasan dan ternak milik kami?” protes beberapa warga yang
hendak kembali ke rumah mereka untuk menyelamatkan harta yang tertinggal.
“Harta itu dapat
di cari tapi kalau nyawa kita hanya satu. Jika lenyap kemana lagi kita akan
mencari penggantinya,”nasehat anak Pak Kikir dengan bijak sehingga para warga
itu menjadi sadar dan mengurungkan niatnya. Berbeda dengan ayahnya yang masih
bertahan di desa.
Sementara yang
lain menyelamatkan diri ke tempat aman, Pak Kikir sibuk mengumpulkan hartanya
ke atas kereta kudanya. Ketika semua sudah terkumpul, Pak Kikir sudah tidak ada
waktu lagi untuk menyelamatkan diri. Banjir bah terus berdatangan silih
berganti menghantam kereta kuda Pak Kikir dan harta benda di dalamnya. Pak
Kikir tenggelam bersama keserakahan dan sifat tamak yang terus menyelimuti
hatinya hingga ajal menjemput.
Warga desa yang
selamat tidak terlalu sedih menyaksikan desanya yang kini sudah tenggelam.
Mereka justru bersyukur masih diberi umur panjang oleh Tuhan. Di bawah arahan
Anak Pak Kikir yang cerdas, mereka kemudian mencari daerah baru dan menjadikan
Anak Pak Kikir sebagai Kepala Desanya.
Kepala Desa itu
membagi tanah secara rata kepada semua warga dan mengajari mereka cara bercocok
tanam dan beternak yang baik. Warga dengan tekun mematuhi petunjuk itu sehingga
mereka kemudian menamakan daerah mereka Desa Anjuran sebagai perlambang
ketaatan mereka pada petuah pemimpin.
Lama kelamaan desa
itu berkembang menjadi sebuah kota yang ramai bernama Cianjur. Ci berarti air
sebagai pengingat kejadian yang dialami warga sebelumnya sehingga mereka pindah
ke tempat itu. Cianjur berarti daerah yang banyak airnya. Berkat kecerdasan dan
ketekunan Anak Pak Kikir membimbing warganya, Cianjur mampu menghasilkan beras
yang sangat enak dan gurih yang menjadi kebanggaan masyarakat Cianjur hingga
sekarang.
Posting Komentar untuk "ASAL USUL KOTA CIANJUR #asalusul #cianjur"