Tempat
tinggalnya sederhana. Hanya terbuat dari gedek atau anyaman bambu. Lantainyapun
masih tanah. Belum disemen apalagi dikeramik. Atapnya sering bocor jika hujan.
Sementara kalau siang hari terasa panas sekali karena atapnya terbuat dari
seng. Di dalam rumah tidak banyak perabot. Hanya dua kamar dengan dua
ranjang reot yang setia menemani tidur para penghuninya di malam yang dingin.
Di dapur hanya ada satu meja dan dua kursi kayu lapuk untuk duduk ketika makan.
Mereka memasak dengan kayu dan walaupun ada kompor gas jarang digunakan karena
tidak mampu membeli gas yang semakin mahal harganya. Sementara di ruang tamu
hanya ada satu meja dan sebuah bangku panjang serta satu kursi untuk duduk tamu
yang datang.
Ditengah keterbatasan itulah, Adi dilahirkan. Ia besar dan tumbuh dengan segala
fasilitas hidup serba kekurangan karena orang tuanya hanyalah buruh tani dengan
penghasilan tidak menentu. Orang tuanya hanya memiliki dua orang anak.
Laki-laki semua. Kakaknya sekarang tinggal dan bekerja di Jakarta. Namanya
Ikhsan. Dia hanya tamatan SD. Dan karena keterbatasan biaya, ia memutuskan
merantau ke Jakarta untuk membantu kehidupan orang tuanya. “Kakak tidak bisa terus sekolah karena harus mencari uang. Jadi kamu harus belajar giat dan sekolah setinggi-tingginya agar tidak seperti Kakak. Segala biaya sekolahmu nanti Kakak yang menanggung. Bapak dan Ibu mencari uang untuk keperluan hidup sehari-hari. Adi membantu seperlunya saja. Konsentrasilah ke pelajaran. Karena kalau pendidikanmu tinggi, kamu punya peluang untuk bekerja di tempat yang lebih baik daripada kami ini. Dengan begitu Adi bisa menolong orang tua kita agar hidupnya tidak menderita terus seperti ini. Adi mengerti ucapan Kakak?,”itulah pesan Ikhsan kepada Adi sebelum ia berangkat ke Jakarta. Adi mengangguk mengerti. Setelah berpelukan erat, Ikhsan berangkat naik bus bersama seorang temannya yang akan membantunya mencari pekerjaan. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang tirus melepas kepergian sang Kakak tercinta. Dalam hati Adi berjanji akan mematuhi pesan Sang Kakak.
Maka hari-hari berikutnya di lalui Adi dengan semangat tinggi menuntut ilmu di sekolah. Ia selalu menjadi rangking satu dan sering mengikuti lomba mewakili sekolahnya. Apalagi Ikhsan ternyata tidak ingkar janji. Setiap bulan ia selalu mengirim uang ke desa untuk meringankan beban hidup keluarganya. Walaupun tidak banyak karena ia hanya bekerja sebagai kuli bangunan tapi uang kirimannya sangat membantu memenuhi kebutuhan hidup orang tuanya.
Jika
Adi menang lomba dan mendapat hadiah berupa uang, maka uangnya ditabung untuk
membeli keperluan sekolahnya seperti buku-buku dan alat tulis. Adi jarang jajan
karena selalu membawa bekal dari rumah. Nasi dengan lauk ikan hasil
tangkapannya di sungai sebelah rumahnya adalah makanannya sehari-hari.
Sementara sayuran mudah di dapat karena ayahnya, Pak Amin menanam sayur mayur
di tanggul sungai yang diperbolehkan oleh pemerintah untuk ditanami.
“Adi ada kiriman dari kakakmu. Silahkan diambil dikantor,”ucap Pak Mamat,
tukang kebun sekolah kepada Adi yang sedang bermain bola di halaman sekolah.
Adi senang sekali mendengarnya. Iapun segera bergegas menuju ke kantor
dan mengambil paket kiriman dari Ikhsan. Paket kirimannya berupa kotak besar
dan cukup berat untuk dibawa. “Nanti pulangnya naik motor Bapak saja. Kamu dibelakang sambil memegang bungkusan itu. Karena kalau kamu bawa sendiri bisa jatuh dan merusak kiriman dari Kakakmu,”pesan Pak Dirga, guru kelas Adi. Adi mengangguk setuju.
Setibanya di rumah, bingkisan dari Ikhsan belum juga dibuka. Menunggu Ayah dan Ibunya pulang dari sawah. Hari ini mereka bertanam padi disawahnya Kepala Desa mereka, Pak Restu.
“Lho, bungkusan apa ini, Di? Kok …besar sekali?,”Tanya Bu Isna, Ibunya Adi ketika melihat bungkusan besar di atas meja ruang tamu. Adi yang sedang tidur siang terperanjat kaget. Di kucak-kucak matanya sebelum menjawab pertanyaan Ibu.
“Ehm… anu, Bu. Itu paket dari Kak Ikhsan. Aku menunggu Ibu dan Bapak pulang dulu untuk melihat apa isinya. Sudah lama pulangnya apa, Pak?,” Tanya Adi sambil meletakkan segelas kopi di meja depan Bapak.
“Kami baru saja pulang. Belum lama,kok. Ya sekarang dibuka saja. Coba kita lihat apa isinya?,”ajak Pak Amin penasaran ingin tahu apa paketan dari Ikhsan. Kalau yang sudah-sudah sih biasanya buku, tas, sepatu atau alat tulis kebutuhan Adi. Atau kalau itu untuk orang tuanya biasanya berupa baju atau peralatan rumah tangga sehingga rumah mereka sekarang sudah ada isinya. Tidak kosong melompong tidak punya apa-apa.
Adipun segera menyobek dan membuka bungkus kotak besar itu. Oh ternyata berupa buku-buku pelajaran kelas enam untuk persiapan menghadapi Ujian Nasional. Ada pesan singkat menempel di dalamnya.”Pelajari buku ini dengan tekun agar Adi bisa mendapat nem yang bagus sehingga mudah diterima di sekolah pilihanmu.”
Tapi kejutan tidak sampai di situ saja. Ternyata ada bungkusan lain di dalamnya. Dengan berdebar Adi membukanya. Ternyata isinya berupa notebook hijau yang masih baru. Adi pun lalu membaca pesan singkat dari Ikhsan.”Kamu harus bisa belajar komputer karena hampir semua bidang pekerjaan menggunakan komputer. Itulah kenapa Kakak menabung untuk membeli notebook ini. Tidak perlu kursus untuk bisa mengoperasikannya. Pelajari saja buku-buku tentang komputer yang Kakak belikan ini. Jaga dan pergunakan dengan baik barang ini. Besok kalau lebaran Kakak pulang, aku ingin Adi yang mengajari Kakak bagaimana caranya mengoperasikan komputer.”
Menetes air mata Pak Amin, Bu Isna dan Adi melihat barang yang bagi mereka sangat mewah tersebut. Adi sujud syukur sebagai ungkapan rasa terimakasihnya pada Tuhan. Pikirannya berputar kencang dan tekadnya semakin membulat. Ia harus semakin giat belajar untuk membalas semua kebaikan sang Kakak.
“Adi minggu depan mewakili sekolah kita ikut lomba Olimpiade MIPA tingkat kecamatan. Jadi mulai sore ini, Adi tidak langsung pulang tapi harus berlatih dulu di sekolah bersama Pak Dirga dan Bu Nilam.”pesan Kepala Sekolah, Bu Kuwati keesokan harinya di ruang kepala sekolah. Adi mengangguk mengerti. “Jika ada kegiatan atau pekerjaan di luar sekolah, kamu atur lagi waktunya sehingga tidak mengganggu persiapan lomba. Jika Adi sukses, ada beasiswa melanjutkan di sekolah favorit di kabupaten. Bahkan katanya malah dapat uang saku tiap bulannya.”imbuh Bu kuwati untuk memacu motivasi Adi. Beliau tahu betul prestasi Adi dan berharap anak tersebut bisa terus melanjutkan sekolahnya tanpa terganggu oleh permasalahan dana dari orang tuanya yang kurang mampu.
Adi semakin sibuk setelahnya. Pulang dari sekolah dia harus mencari rumput untuk memberi makan sepasang kambing titipan dari tetangganya Pak Imam yang baru diberikan minggu lalu. Alasannya untuk meringankan beban beliau karena sudah kewalahan mengurusi kambingnya yang jumlahnya mencapai hampir lima belas ekor banyaknya. Selain itu Pak Imam juga ingin membantu Adi. Nanti kalau kambingnya sudah beranak, anaknya tersebut di bagi dua dengan Adi. Sedangkan induknya tetap menjadi hak milik Pak Imam.
Setelah melalui persiapan matang selama dua minggu lamanya. Akhirnya Olimpiade MIPA tingkat kecamatan di mulai. Tidak sulit bagi Adi untuk memenangkannya. Dia menjadi juara 1 dan mewakili kecamatan untuk berlomba di tingkat Kabupaten.
“Lombanya Senin depan, Adi. Jadi jagalah kesehatan agar tidak sakit ketika lomba dimulai.” Pesan Pak Dirga seraya mengelus sayang kepala murid kebanggaannya itu.
Dan hari yang di tunggupun tiba. Jam setengah enam pagi, Adi dan beberapa peserta lomba Olimpiade MIPA, Matematika dan IPS yang mewakili tingkat kecamatan telah bersiap di kantor UPT Kecamatan. Mereka harus berkemas lebih pagi karena jarak ke kabupaten sekitar satu setengah jam perjalanan. Padahal acara pembukaan dimulai jam tujuh tepat.
Setelah dibuka, peserta langsung menuju ke lokasi lomba yang dipusatkan di SMP 8. Para peserta mendapat 200 soal pilihan ganda yang harus selesai dalam waktu 2 jam saja. Kemudian jawaban akan langsung dikoreksi oleh panitia sehingga hari itu juga bisa diketahui siapa juaranya yang akan melaju ke tingkat propinsi.
“Bagaimana tadi tesnya, Adi? Soalnya sulit tidak?,”tanya Pak Dirga yang ikut mengawal Adi.
“Sulit, Pak. Tapi mudah-mudahan nilainya tinggi karena banyak soal yang mirip dengan latihan kemarin,”jawab Adi penuh harap. Mereka lalu mencari kantin untuk mengisi perut seraya menunggu pengumuman pemenang.
“Kamu di sini sebentar ya, Adi. Dompet Bapak ternyata tertinggal di tas. Aku akan ambil sebentar. Kamu jangan kemana-mana,”pesan Pak Dirga gugup. Beliau sedikit malu tadi karena ketika akan membayar uangnya tidak ada. Untungnya pemilik rumah makan penuh pengertian dan dapat memahami kondisi tersebut.
Lima belas menit berlalu ternyata Pak Dirga belum juga kembali. Entah lari kemana dompet yang tersimpan di tas itu. Adi semakin cemas karena sebentar lagi pengumuman pemenang lomba dimulai. Ia ingin sekali melihatnya. Ketika ia memutuskan untuk menyusul Pak Dirga, orang yang di tunggu tergopoh-gopoh datang berpeluh keringat.
“Maaf, Adi. Bapak agak lama karena harus mencari pak sopir yang memegang kunci mobil. Sebentar saya bayar dulu makannya setelah itu kita langsung kembali ke tempat untuk melihat pengumuman,”terang Pak Dirga yang diangguki oleh Adi. Mereka lalu mendekati kasir. Tapi alangkah terkejutnya mereka karena ternyata makanannya sudah dibayar oleh seseorang yang sekarang sedang duduk dipojok kanan warung membelakangi mereka. Orang berkaos biru itu tengah asyik menikmati santap siangnya.
“Maaf, apakah benar Bapak yang telah membayari makanan kami? Jika benar kami mengucapkan terimakasih banyak. Bapak tidak kenal kami tapi Bapak baik sekali kepada kami. Kami sangat berterimakasih dan berharap bisa membalas kebaikan Bapak,”tanya Pak Dirga halus dan sopan.
“Ah biasa saja, Pak. Antar sesama bukankah harus tolong menolong. Lagipula siapa bilang kalian tidak mengenal saya?,”jawab orang misterius tersebut seraya membalikkan badannya.
“Kakak....? Kak Ikhsan....? Benarkah....? wouw sulit dipercaya!!!,”jerit Adi membuat seisi warung makan terkejut dan serentak menoleh ke arah mereka. Tapi Adi tidak peduli. Dia langsung menghambur ke pelukan sang kakak tersayang. Air mata mengalir membasahi pipinya yang tirus. Perasaan bahagia begitu membuncah di hatinya.
“Sudah...sudah...kita tunda dulu reuninya karena sebentar lagi kan pengumuman pemenang. Kau ingin melihatnya bukan?,”bisik Ikhsan di telinga sang adik.
Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke lokasi pengumuman lomba. Hari bahagia Adipun semakin lengkap dengan perolehan gelar juara pertama olimpiade MIPA dan itu artinya semua kerja kerasnya selama ini terbayar tuntas meskipun perjuangan belum selesai karena dia harus bersiap lebih keras menuju ke tingkat propinsi.
Posting Komentar untuk "BELAJAR UNTUK MASA DEPAN YANG CERAH"