Suara gaduh di luar membangunkan tidur cicak kakak beradik dari balik dinding lemari belajar Irwan. Rasa penasaran timbul di hati ingin tahu apa yang tengah terjadi sebenarnya di luar sana. Merayaplah mereka berdua menuju ke ruang tamu untuk mencari jawaban dari rasa penasaran yang menggelayuti hati.
“Sepertinya Irwan punya mainan baru, Kak,” gumam Bintul sang adik dengan raut muka pilu.
“Ya, kau benar, Adikku. Dan itu akan jadi masalah besar bagi kita,”jawab Biang, sang kakak, tidak kalah lemasnya.
Bersamaan dengan itu, Irwan masuk dengan membawa seekor kucing hitam besar menyeramkan di pelukannya. “Ini kamarku, Mandung. Mudah-mudahan kamu betah tinggal bersamaku di kamar ini, ya?,”jelas Irwan sambil mengelus-elus kepala kucing piaraannya hadiah dari Paman Agung.
Keluarga Irwan baru pulang dari liburan ke rumah Paman Agung di Semarang. Ayah dan Ibu tampak kelelahan dan langsung memutuskan untuk istirahat di kamar. Sementara Pak Hadi, sopir mereka membersihkan mobil dulu sebelum beristirahat.
“Kita akan singkirkan kucing itu dari rumah ini selamanya,” Tekad Biang tak putus asa.
“Caranya bagaimana, Kak?,”celetuk Bintul bingung.
“Kita cari tahu nanti,”jawab Biang mengakhiri percakapan.
Ternyata dugaan Biang benar. Kehadiran Mandung membuat gempar keluarga besar cicak yang telah bertahun-tahun tinggal di rumah Irwan. Mandung ternyata suka makan cicak. Setiap hari kerjaannya hanyalah mengincar cicak yang lengah untuk dijadikan santapan lezat. Dan di hari yang kelima nasib tragis dialami oleh Si Buntung, saudara ipar Biang dan Bintul.
“Padahal sudah aku peringatkan tadi agar jangan mencari makan di dapur karena ada Mandung di sana, tapi Buntung tidak peduli. Dia terus lari mengejar laba-laba buruannya hingga tidak sadar kalau Mandung sudah mengincarnya dari tadi....,”terang Bintul ketika ditanya Biang, kakaknya. Keduanya menjadi saksi betapa kejamnya Si Mandung. Sudah empat ekor cicak ditelannya hari ini. Dan akan terus bertambah selama Mandung masih mengenal rasa lapar. Keluarga besar cicak bisa jadi hanya tinggal cerita jika tidak segera diambil tindakan.
“Apakah dia tidak suka tikus? Seingat aku, kucing sukanya makan tikus?,”tanya Bintul.
“Aku kira suka. Hanya saja Mandung kurang gesit. Jadi selalu kalah cepat dengan tikus buruannya. Makanya sekarang dia lebih suka mengincar cicak yang lebih mudah untuk ditangkap,”timpal Biang.
“Dasar pengecut! Beraninya hanya dengan cicak...,” keluh Bintul penuh emosi.
Hari ini keluarga Irwan membeli tiga ekor ayam jago untuk acara syukuran mobil baru Ayahnya. Ketiga ekor ayam tersebut di letakkan di kandang belakang rumah. Rencananya sih akan di sembelih esok pagi.
“Aku punya ide. Kita ke tempat Mandung, yuk!,”ajak Biang bersemangat. Bintul segera mengikuti di belakangnya. Mereka merayap ke teras depan dimana Mandung tengah tiduran santai menunggui rumah. Ibu sedang pergi ke pasar diantar Ayah untuk membeli segala keperluan syukuran besok. Sementara Irwan belum pulang sekolah.
“Hei, kucing jelek! Sini kamu, tangkap kami kalau berani!,”tantang Biang memulai rencananya. Mandung mendongak mencoba mencari sumber suara. Ternyata ada dua ekor cicak tepat di atasnya. Mandung tetap tenang dan tidak terpancing emosinya. Percuma menanggapi tantangan Biang. Mereka terlalu tinggi untuk di jangkau. Hanya akan membuat hati kesal jika diladeni. Dengan cuek Mandung kembali memejamkan mata sembari mengibas-ibaskan ekornya yang panjang.
“Ha..ha...ha... ternyata kamu hanya besar badannya saja. Hatimu rupanya kecil. Menghadapi kami saja tidak berani. Dasar kucing penakut!,”ejek Bintul membuat panas telinga Mandung. Iapun berdiri dan menatap tajam ke arah dua ekor cicak pemberani itu.
“Aku sudah siap. Sekarang turun kalian! Kita bertarung secara ksatria...!,”teriak Mandung balas menantang. Napasnya naik turun karena terbakar amarah. Ia tidak terima dihina sedemikian rupa oleh hewan yang telah menjadi santapannya sehari-hari.
“Nah, begitu dong... Itu baru jagoan. Tapi aku tidak akan turun menemuimu. Aku tidak sebodoh itu kau tipu. Aku hanya ingin menantangmu untuk dapat mengalahkan lawan yang sepadan atau bahkan lebih kuat darimu. Kau berani tidak?,”balas Biang.
“Berani! Kau ingin aku bertarung dengan siapa?,”
“Ada empat ekor ayam jantan di belakang. Satu peliharaan Arman sedangkan tiga ayam lainnya baru datang kemarin. Tinggal pilih sesukamu. Kau bunuh salah satunya terus bawa kemari,”
“Lalu bagaimana denganmu? Siapa yang akan kau lawan?,”
“Doggy...anjing bulldog milik tetangga sebelah. Siapa yang kalah harus pergi dari rumah ini selamanya. Kau setuju?,”
“Ha...ha...ha...kau bercanda cicak jelek! Lawan aku saja kau tak berani apalagi melawan Si Doggy. Hancur kau dicincangnya! Aku pasti menang dan kalian harus mau jadi santapanku. Kalau aku kalah, aku akan pergi dari rumah ini,”ejek Mandung meremehkan.”Aku akan bawa salah satu ayam jantan di belakang itu sekarang.”imbuhnya lagi sambil berlalu ke belakang rumah. Tawa kerasnya terus terdengar hingga beberapa saat.
“Gila kamu, Kak. Mana mungkin kita bisa menaklukan Si Doggy,”protes Bintul dengan nada tinggi.
“Ssstt....itu hanya siasatku saja. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Lagi pula siapa yang mau mati konyol menantang Si Doggy,” jawab Biang menenangkan.
Tidak berapa lama munculah Si Mandung bersusah payah menyeret tubuh tak bernyawa Bima, ayam bangkok peliharaan Arman. Dari ke empat ayam yang dibelakang rumah, Bimalah yang paling besar dan kuat. Maka Mandung memutuskan untuk membunuh ayam tersebut agar tidak kalah dengan Biang yang rencananya akan menaklukan Doggy, anjing bulldog tetangga sebelah.
Di saat yang bersamaan, Arman baru pulang dari sekolah. Segera setelah sepedanya di parkir di garasi. Ia hendak masuk rumah. Namun langkahnya terhenti, mulutnya menganga lebar, dan matanya membuka sempurna menyaksikan pemandangan mengejutkan di hadapannya. Si Bima terkapar tak berdaya dengan leher nyaris putus. Sementara di sampingnya Si Mandung menyeringai lebar dengan mulut berlumuran darah.
“Apa yang kamu lakukan Mandung. Kenapa kamu bunuh Si Bima, ayam kesayanganku yang sudah kupelihara sejak kecil. Kau jahat sekali!,”rutuk Arman kesal bukan kepalang. Di ambilnya sapu lidi lalu disabetkan ke tubuh Si Mandung sekeras-kerasnya,”Pergi kau dari sini! Aku tidak suka memelihara kucing jahat sepertimu!,”sentak Arman mengusir Si Mandung yang baru dipeliharanya beberapa hari.
Si Mandung berkelit menghindar lalu lari ke jalanan lepas. Langkahnya gontai penuh rasa bersalah dan kesal karena telah tertipu permainan Biang dan Bintul yang cerdik.
“Lihatlah, Dik. Akhirnya hidup kita bisa tenang dan damai kembali. Si Mandung tidak akan berani lagi datang kesini selamanya...,”celetuk Biang yang langsung diamini oleh Bintul. Keduanya lalu tertawa lepas penuh bahagia. Ternyata kelebihan fisik tidak akan berguna jika tidak diikuti akal yang cerdik dan hati yang tenang.
Posting Komentar untuk "KUCING DIKALAHKAN CICAK"