Irfan pulang
main sepakbola dengan seragam kotor penuh lumpur. Jalannya juga agak
terpincang-pincang. Sepertinya kaki yang cedera tersebut perlu penanganan
khusus karena berulang kali ia meringis menahan sakit.
Tapi bukan itu yang membuat sang
Ayah, Pak Herman marah. Beliau malah mendukung sepenuhnya kegiatan diluar
sekolah Irfan yang lumayan padat. Salah satunya ya ikut klub sepakbola
tersebut. Belum lagi kegiatan renang dan pencak silat yang ia ikuti pada hari
Jumát dan Minggu. Pak Herman kecewa kepada Irfan karena ia tidak bisa mengatur
waktunya dengan baik. Ia pulang ketika waktu Maghrib menjelang. Padahal itu
saatnya dia beribadah lalu ikut mengaji di masjid. Jika keadaannya seperti itu,
jelas dua kegiatan terakhir tidak akan bisa diikuti. Jika dipaksakan malah akan
menyiksa dirinya.
“Kenapa sore sekali pulangnya, Fan?”
tanya Pak Herman lembut. Meski sedang marah beliau tetap berusaha menahan diri.
Irfan yang tengah melepas sepatunya terlihat ketakutan untuk menjawab.
“Tadi kami harus menunggu
teman-teman yang lain kumpul dulu baru pertandingan bisa dimulai. Padahal beberapa
anak datangnya agak sore,”jawab Irfan jujur tanpa ditutup-tutupi.
Pak Herman hanya mengangguk-angguk
saja. Beliau berhenti bertanya dan meminta Irfan untuk segera mandi dan shalat
maghrib. Saat ini belum saatnya membahas lebih jauh masalah tersebut.
Selesai mandi dan shalat. Irfan
kemudian makan malam bersama. Pak Herman lalu menelpon Mbok Tijah, tukang pijat
langganan keluarga untuk memulihkan cedera di kaki Irfan. Selesai pijat, benar
dugaan Pak Herman, Irfan langsung tertidur karena kecapekan. Padahal jika
dilihat jadwal kegiatan yang dipajang di kamar Irfan, anak itu besok ada
ulangan Matematika. Tapi karena kondisi fisik Irfan yang tidak menunjang, Pak
Herman membiarkan saja anak tidur hingga pagi berikutnya. Beliau takut jika
dipaksakan belajar, kondisi anaknya semakin turun. Jika itu terjadi, besok ia
malah tidak bisa ikut ulangan.
Sore hari, Pak Herman memanggil
Irfan. Di hadapan Ayah dan Ibunya, Irfan tertunduk lesu. Ia seperti seorang
terdakwa yang tengah menghadapi sidang penghakiman.
“Berapa nilai ulangan Matematikamu
tadi? Baik atau malah menurun lagi?”tanya Ibu mengawali pembicaraan. Irfan
terkejut karena ternyata kedua orang tuanya tahu jika tadi dia ada ulangan
Matematika.
“Menurun, Bu. Irfan dapat nilai 65.
Jadi harus ikut remidi lagi agar mencapai nilai 70,”jawab Irfan lirih. Ayahnya
berdehem. Entah apa yang beliau pikirkan.
“Begini, Nak. Kami berdua sebenarnya
tidak pernah menuntut kamu harus mendapat nilai sempurna. Kami hanya ingin kamu
berusaha sebaik mungkin yang kamu bisa. Masalah hasil itu nomor sekian. Yang penting
kamu sudah berusaha sekuat tenaga,”jelas Ayah tentang maksud mereka berdua
memanggil Irfan untuk berbicara dari hati ke hati.
“Kami melihat akhir-akhir ini. Kamu
tampak kewalahan mengikuti begitu banyak kegiatan di dalam maupun diluar
sekolah. Akibatnya banyak kegiatan tersebut malah terbengkalai dan hasilnya
sangat mengecewakan. Ayah dan Ibu hanya ingin kamu mulai memperbaiki kembali
jadwalmu lalu berusaha sekuat tenaga menjalankannya. Jangan melanggarnya karena
berakibat pada kegiatan lain yang terbengkalai,”imbuh Pak Herman menutup pembicaraan.
Irfan berjanji untuk merubah sikapnya.
Jadwal kegiatan barunya kembali
disusun lalu di tempel di dinding kamarnya dengan sepengetahuan Ayah dan Ibu.
Sejak saat itu, Irfan sudah tidak pernah lagi pulang hingga sore hari ketika
bermain bola. Jika sudah saatnya pulang, ia akan langsung meminta ijin kepada
teman-temannya.
Dengan disiplin seperti itu,
prestasi di sekolahnya kembali naik. Sementara kegiatannya diluar tetap
berjalan dengan baik.
Posting Komentar untuk "JADWAL KEGIATAN SEHARI-HARI YANG MEMUSINGKAN #jadwalkegiatan"