Alkisah,
dahulu kala di daerah Gorontalo, hiduplah seorang pemuda bernama Lahilote. Ia
tinggal tidak jauh dari hulu sungai. Pekerjaannya setiap hari mencari rotan di
hutan untuk kemudian di jual ke pasar.
Tidak jauh dari tempat Lahilote
tinggal ada sebuah telaga tempat tujuh bidadari mandi. Lahilote bisa mendengar
suara canda tawa mereka setiap kali para bidadari itu tengah membersihkan diri
dan menikmati segarnya air telaga yang jernih.
Lahilote kemudian mengambil salah satu
selendang milik bidadari tersebut yang diletakkan di tepi telaga lalu ia
menyembunyikannya di sebuah tempat rahasia.
Seusai mandi para bidadari cantik
tersebut lalu berpakaian dan terbang kembali ke kahyangan kecuali seorang
diantaranya yang selendangnya telah dicuri Lahilote. Ia tidak dapat terbang
menyusul saudara-saudaranya yang lain. Bidadari malang tersebut sibuk mencari
kesana kemari selendang miliknya.
“Apa yang sedang kau cari, bidadari?
Kenapa kau terlihat bingung sekali?”tanya Lahilote pura-pura tidak tahu.
Bidadari tersebut terkejut dengan kehadiran Lahilote secara tiba-tiba.
“Oh...aku sedang mencari selendangku
yang aku letakkan disini tadi. Tapi entah kenapa tiba-tiba hilang. Aku tidak
bisa kembali ke tempatku tanpa selendang itu,”jawab bidadari dengan sedih.
Lahilote kemudian membujuk bidadari
itu untuk tinggal saja di rumahnya hingga selendang miliknya bisa ditemukan.
Bidadari yang tidak memiliki pilihan lain akhirnya setuju dengan usul Lahilote.
Ia malah bersedia dinikahi oleh Lahilote.
Seiring berjalannya waktu, keinginan
bidadari untuk kembali ke kahyanganpun terlupakan hingga pada suatu hari ketika
ia tengah membersihkan rumah, bidadari itu tidak sengaja menemukan selendangnya
yang telah bertahun-tahun hilang di dalam sebuah tabung bambu. Seketika itu
juga, ia segera memakainya dan terbang ke kahyangan tanpa memikirkan lagi
suaminya yang tengah mencari rotan di hutan.
Hari itu, Lahilote mendapat banyak
rotan, dua kali lipat dari biasanya. Iapun bergegas pulang untuk memberitahukan
kabar gembira itu pada istrinya. Tapi alangkah sedihnya Lahilote, ketika ia
tidak menemukan istrinya di rumah. Ia lalu mengambil tabung bambu tempat
selendang istrinya disimpan. Tabung itu telah kosong dan itu berarti istrinya
telah menemukan selendang miliknya dan kembali ke tempat asalnya di kahyangan.
Namun kesedihan Lahilote tidak berlangsung
lama karena ada seorang lelaki dari suku Polahi yang tinggal di dalam hutan
datang menemuinya dengan membawa rotan hutiya mala.
“Gunakan rotan ini untuk menemui
istrimu di kahyangan,”perintah Polahi tersebut kepada Lahilote. Ia lalu terbang
ke kahyangan dan bersatu kembali dengan istrinya. Mereka hidup bahagia hingga
pada suatu hari ketika istrinya sedang mencari kutu di kepala Lahilote, ia
melihat beberapa helai rambut milik suaminya mulai beruban.
Padahal orang yang beruban tidak boleh
tinggal di kahyangan. Para penghuninya akan selalu awet muda. Tidak pernah tua
sepanjang masa. Maka orang yang beruban atau berubah menua tidak boleh tinggal
di sana.
Lahilote yang menyadari siapa dirinya,
akhirnya kembali turun ke bumi dengan sebilah papan. Manusia seperti dirinya
memang tidak pantas menikahi seorang bidadari apalagi memaksakan diri menjadi
penghuni kahyangan. Meski sedih, Lahilote tetap mencoba tabah menghadapi cobaan
tersebut.
Ia kemudian bersumpah,”Hingga tua
umurku, berbatas pantai Pohe yang berujung kain kafan, telapak kakiku akan
terus terpatri disana sepanjang zaman.”
Hingga sekarang, masyarakat bisa
melihat batu seperti telapak kaki di pantai Pohe, Gorontalo, yang menurut
kepercayaan warga sekitar merupakan kaki Lahilote yang dibuang dari kahyangan.
Posting Komentar untuk "Legenda Lahilote dari Gorontalo #lahitole #gorontalo"