Dahulu kala di Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat, hiduplah seorang lelaki yang sudah ditinggal mati istrinya. Ia hidup bersama kedua orang anaknya bernama Tampe Ruma Sani dan adik lelakinya yang masih kecil bernama Mahama Laga Ligo.
Tampe Ruma Sani yang masih kecil
terpaksa harus menggantikan pekerjaan ibunya, memasak makanan untuk Ayah dan
adiknya serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia juga harus membantu Ayahnya
yang miskin mencari uang dengan menjual ikan berkeliling desa. Meski berat,
gadis penurut itu tetap menjalaninya dengan senang hati. Tak pernah sekalipun
ia mengeluh. Tampe Ruma Sani hanya bisa berdoa agar kelak diberi kehidupan yang
lebih baik oleh Tuhan.
Melihat kesulitan yang dihadapi
kedua anaknya, Ayah mereka akhirnya menikah lagi dengan seorang janda tanpa
anak sehingga pekerjaan Tampe Ruma Sani bisa berkurang. Ia tidak lagi
mengerjakan pekerjaan rumah seberat dulu karena sudah ada ibu tirinya. Selain
itu ibu tirinya ternyata juga pintar membuat tembe (sarung), ro sarowa (celana)
dan sambolo (destar). Ibu tirinya membuat semua itu untuk Ayahnya, Tampe Ruma
Sani dan adiknya. Namun Tampe Ruma Sani tetap berkeliling menjajakan ikan. Uang
hasil jualan ia serahkan ke ibu tirinya yang kini mengurusi keuangan mereka.
Awal menikah dengan ayahnya, si ibu
tiri kelihatannya baik, namun lama kelamaan sifat aslinya muncul. Ternyata ia
perempuan yang jahat. Ia hanya baik ketika Ayah Tampe Ruma Sani ada di rumah.
Jika sedang pergi bekerja, Tampe Rumah Sani dan Mahama Laga Ligo diperlakukan
seperti seorang pembantu. Mereka dipaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah
sementara si ibu tiri hanya duduk menunggui. Mereka hanya diberi makanan
seadanya sementara si ibu tiri dan ayahnya selalu makan enak.
Melihat hal itu, Tampe Rumah Sani
akhirnya memberanikan diri bertanya pada ayahnya,”Mengapa Ayah dan Ibu selalu
makan nasi dan lauk yang enak-enak, sementara kami berdua hanya diberi makan
nasi menir (sisa beras yang kecil-kecil) dan lauk seadanya?”tanya Tampe Ruma
Sani dengan raut muka sedih. Mendengar hal itu, Ayahnya menjadi marah dan
menegur istrinya agar memperlakukan kedua anaknya dengan baik.
“Siapa bilang? Aku memberi perlakuan
yang sama, kok, kepada mereka. Lihatlah nasi yang menempel di kepala Mahama
Laga Ligo! Itukan nasi utuh bukan menir seperti yang diucapkan Tampe Ruma
Sani?”jawab ibu tirinya yang sengaja menempelkan beberapa butir nasi utuh yang
masih bagus di kepala si kecil Mahama Laga Ligo. Ayahnya melihat hal itu dan
akhirnya lebih percaya kepada istrinya daripada anak-anaknya sendiri.
Ibu tirinya yang marah karena Tampe
Ruma Sani sudah berani melaporkan kejahatannya pada ayahnya, lalu mengancam
akan membunuh Tampe Ruma Sani dan adiknya. Hampir setiap hari mereka mendapat
siksaan kejam dari ibu tirinya. Mereka tidak berani melapor karena takut akan
ancaman ibu tirinya itu.
Meski mendapat perlakuan tidak
menyenangkan dari ibu tirinya selama bertahun-tahun, keduanya tetap tumbuh
menjadi pemuda yang cantik dan gagah. Mereka juga tetap memiliki sifat yang
baik, sabar, selalu rukun dan hormat pada yang lebih tua. Tutur katanya juga
halus dan sopan. Keduanya yang kini sudah dewasa lalu pamit pada ayahnya untuk
merantau mencari pengalaman dan rejeki di kota. Selain itu mereka juga sudah
tidak tahan dengan perlakuan ibu tirinya yang semena-mena.
Mulanya, ayahnya tidak setuju dengan
rencana tersebut karena ia akan menjadi kesepian tanpa kehadiran mereka berdua
di rumah, namun ibu tirinya yang justru senang dengan rencana itu berhasil
membujuk dan mempengaruhi sang ayah dengan berbagai macam alasan.
“Biarlah mereka melihat dunia yang
lebih luas agar pengalamannya bertambah. Lagi pula jika mereka sukses, kita
akan bangga melihatnya. Hidup kita tidak akan kesusahan di masa tua,”ucap si
ibu tiri dengan senyum tersungging di bibirnya karena bahagia jika Tampe Rumah
Sani dan Mahama Laga Ligo pergi tidak akan merepotkannya lagi.
Akhirnya Tampe Ruma Sani dan adiknya
pergi merantau. Ia mendapat bekal uang dan makanan secukupnya. Mereka lalu berjalan
beriringan disertai tatapan sedih sang ayah. Setelah seharian berjalan mereka
berhenti ditepi sebuah hutan untuk memakan bekal yang disiapkan ibu tirinya. Namun
sayang sekali ternyata bekal itu sudah basi sehingga tidak dapat dimakan.
Untungnya tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah rumah kosong
sehingga mereka bisa istirahat di dalamnya. Cat rumah sudah pudar dan
dibeberapa bagian mulai rusak. Rumput liar tumbuh subur disekelilingnya dan
ketika masuk mereka tidak menemukan siapapun. Anehnya di dalam rumah itu ada
tiga buah karung berisi cengkih, pala dan merica. Sedangkan di meja makan
tersedia nasi, sayur dan lauk yang masih hangat. Keduanya yang sudah kelelahan
akhirnya tertidur hingga pagi.
Ketika bangun mereka tetap tidak menemukan si pemilik rumah. Tampe
Ruma Sani dan adiknya lalu menyantap makanan di meja makan dengan lahapnya hingga kenyang. Kejadian tersebut berlangsung
terus hingga tiga hari lamanya. Dan selama itu mereka tetap tidak dapat
mengetahui siapa sebenarnya orang yang telah menyiapkan makanan di meja setiap
hari.
“Meski hidup kita serba enak karena makanan selalu ada di
meja setiap harinya, tapi aku khawatir jika makanan itu tidak muncul lagi kita
akan mendapat banyak kesulitan. Aku akan menjual cengkih, merica dan pala ini
sedikit demi sedikit ke pasar terdekat untuk bekal hidup kita. Selama aku
pergi, Kakak jangan pernah membukakan pintu rumah bagi siapapun,”jelas Mahama
Laga Ligo. Kakaknya mengangguk mengerti seraya meminta agar Mahama Laga Ligo
jangan pergi terlalu lama karena ia ketakutan tinggal sendiri di rumah kosong
itu.
Benar saja, beberapa hari kemudian, beberapa prajurit
kerajaan yang tengah berburu di hutan singgah di rumah itu. Pimpinannya lalu
naik dan mengetuk pintu rumah. Tampe Ruma Sani yang ketakutan tidak berani
menjawab apalagi membukakan pintu rumah. Ia selalu mematuhi pesan adiknya agar
tidak membuka pintu selain untuk Mahama Laga Ligo. Prajurit itu lalu turun ke
kolong rumah untuk mengintip kondisi di dalamnya. Namun ia justru menemukan
rambut yang terjulur ke bawah. Dengan rasa penasaran lalu ia menarik rambut itu
hingga terdengar teriakan kesakitan seseorang. Rupanya suara itu milik Tampe
Ruma Sani yang tengah bersembunyi di bawah meja hingga rambutnya menjuntai dan
terlihat oleh sang prajurit.
Karena tetap tidak bisa masuk ke dalam rumah, panglima
prajurit itu dan anak buahnya lalu kembali ke istana untuk melaporkan peristiwa
tersebut pada sang raja. Mereka kembali lagi ke hutan beberapa hari kemudian
dan mendapatkan perlakuan yang sama dari Tampe Ruma Sani yang sedang ditinggal
pergi ke pasar oleh adiknya, Mahama Laga Ligo.
Sang Raja dan prajuritnya lalu mendobrak pintu rumah secara
beramai-ramai sehingga membuat Tampe Ruma Sani sangat ketakutan. Untunglah di saat
yang bersamaan, Mahama Laga Ligo datang. Kesalah pahaman tersebut akhirnya bisa
diselesaikan dengan baik. Sang Raja yang terpesona dengan kecantikan Tampe Ruma
Sani lalu melamarnya dan membawa gadis baik hati itu bersama sang adik
tersayang, Mahama Laga Ligo ke istana. Kehidupan penuh cobaan kakak beradik
yang sabar itupun akhirnya berubah bahagia.
Posting Komentar untuk "TAMPE RUMA SANI #tamperumasani #dompu #NTB"