TAMPE RUMA SANI #tamperumasani #dompu #NTB



           
Dahulu kala di Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat, hiduplah seorang lelaki yang sudah ditinggal mati istrinya. Ia hidup bersama kedua orang anaknya bernama Tampe Ruma Sani dan adik lelakinya yang masih kecil bernama Mahama Laga Ligo.
            Tampe Ruma Sani yang masih kecil terpaksa harus menggantikan pekerjaan ibunya, memasak makanan untuk Ayah dan adiknya serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia juga harus membantu Ayahnya yang miskin mencari uang dengan menjual ikan berkeliling desa. Meski berat, gadis penurut itu tetap menjalaninya dengan senang hati. Tak pernah sekalipun ia mengeluh. Tampe Ruma Sani hanya bisa berdoa agar kelak diberi kehidupan yang lebih baik oleh Tuhan.
            Melihat kesulitan yang dihadapi kedua anaknya, Ayah mereka akhirnya menikah lagi dengan seorang janda tanpa anak sehingga pekerjaan Tampe Ruma Sani bisa berkurang. Ia tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah seberat dulu karena sudah ada ibu tirinya. Selain itu ibu tirinya ternyata juga pintar membuat tembe (sarung), ro sarowa (celana) dan sambolo (destar). Ibu tirinya membuat semua itu untuk Ayahnya, Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun Tampe Ruma Sani tetap berkeliling menjajakan ikan. Uang hasil jualan ia serahkan ke ibu tirinya yang kini mengurusi keuangan mereka.
            Awal menikah dengan ayahnya, si ibu tiri kelihatannya baik, namun lama kelamaan sifat aslinya muncul. Ternyata ia perempuan yang jahat. Ia hanya baik ketika Ayah Tampe Ruma Sani ada di rumah. Jika sedang pergi bekerja, Tampe Rumah Sani dan Mahama Laga Ligo diperlakukan seperti seorang pembantu. Mereka dipaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah sementara si ibu tiri hanya duduk menunggui. Mereka hanya diberi makanan seadanya sementara si ibu tiri dan ayahnya selalu makan enak.
            Melihat hal itu, Tampe Rumah Sani akhirnya memberanikan diri bertanya pada ayahnya,”Mengapa Ayah dan Ibu selalu makan nasi dan lauk yang enak-enak, sementara kami berdua hanya diberi makan nasi menir (sisa beras yang kecil-kecil) dan lauk seadanya?”tanya Tampe Ruma Sani dengan raut muka sedih. Mendengar hal itu, Ayahnya menjadi marah dan menegur istrinya agar memperlakukan kedua anaknya dengan baik.
            “Siapa bilang? Aku memberi perlakuan yang sama, kok, kepada mereka. Lihatlah nasi yang menempel di kepala Mahama Laga Ligo! Itukan nasi utuh bukan menir seperti yang diucapkan Tampe Ruma Sani?”jawab ibu tirinya yang sengaja menempelkan beberapa butir nasi utuh yang masih bagus di kepala si kecil Mahama Laga Ligo. Ayahnya melihat hal itu dan akhirnya lebih percaya kepada istrinya daripada anak-anaknya sendiri.
            Ibu tirinya yang marah karena Tampe Ruma Sani sudah berani melaporkan kejahatannya pada ayahnya, lalu mengancam akan membunuh Tampe Ruma Sani dan adiknya. Hampir setiap hari mereka mendapat siksaan kejam dari ibu tirinya. Mereka tidak berani melapor karena takut akan ancaman ibu tirinya itu.
            Meski mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari ibu tirinya selama bertahun-tahun, keduanya tetap tumbuh menjadi pemuda yang cantik dan gagah. Mereka juga tetap memiliki sifat yang baik, sabar, selalu rukun dan hormat pada yang lebih tua. Tutur katanya juga halus dan sopan. Keduanya yang kini sudah dewasa lalu pamit pada ayahnya untuk merantau mencari pengalaman dan rejeki di kota. Selain itu mereka juga sudah tidak tahan dengan perlakuan ibu tirinya yang semena-mena.
            Mulanya, ayahnya tidak setuju dengan rencana tersebut karena ia akan menjadi kesepian tanpa kehadiran mereka berdua di rumah, namun ibu tirinya yang justru senang dengan rencana itu berhasil membujuk dan mempengaruhi sang ayah dengan berbagai macam alasan.
            “Biarlah mereka melihat dunia yang lebih luas agar pengalamannya bertambah. Lagi pula jika mereka sukses, kita akan bangga melihatnya. Hidup kita tidak akan kesusahan di masa tua,”ucap si ibu tiri dengan senyum tersungging di bibirnya karena bahagia jika Tampe Rumah Sani dan Mahama Laga Ligo pergi tidak akan merepotkannya lagi.
            Akhirnya Tampe Ruma Sani dan adiknya pergi merantau. Ia mendapat bekal uang dan makanan secukupnya. Mereka lalu berjalan beriringan disertai tatapan sedih sang ayah. Setelah seharian berjalan mereka berhenti ditepi sebuah hutan untuk memakan bekal yang disiapkan ibu tirinya. Namun sayang sekali ternyata bekal itu sudah basi sehingga tidak dapat dimakan.
Untungnya tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah rumah kosong sehingga mereka bisa istirahat di dalamnya. Cat rumah sudah pudar dan dibeberapa bagian mulai rusak. Rumput liar tumbuh subur disekelilingnya dan ketika masuk mereka tidak menemukan siapapun. Anehnya di dalam rumah itu ada tiga buah karung berisi cengkih, pala dan merica. Sedangkan di meja makan tersedia nasi, sayur dan lauk yang masih hangat. Keduanya yang sudah kelelahan akhirnya tertidur hingga pagi.
Ketika bangun mereka tetap tidak menemukan si pemilik rumah. Tampe Ruma Sani dan adiknya lalu menyantap makanan di meja makan dengan lahapnya  hingga kenyang. Kejadian tersebut berlangsung terus hingga tiga hari lamanya. Dan selama itu mereka tetap tidak dapat mengetahui siapa sebenarnya orang yang telah menyiapkan makanan di meja setiap hari.
“Meski hidup kita serba enak karena makanan selalu ada di meja setiap harinya, tapi aku khawatir jika makanan itu tidak muncul lagi kita akan mendapat banyak kesulitan. Aku akan menjual cengkih, merica dan pala ini sedikit demi sedikit ke pasar terdekat untuk bekal hidup kita. Selama aku pergi, Kakak jangan pernah membukakan pintu rumah bagi siapapun,”jelas Mahama Laga Ligo. Kakaknya mengangguk mengerti seraya meminta agar Mahama Laga Ligo jangan pergi terlalu lama karena ia ketakutan tinggal sendiri di rumah kosong itu.
Benar saja, beberapa hari kemudian, beberapa prajurit kerajaan yang tengah berburu di hutan singgah di rumah itu. Pimpinannya lalu naik dan mengetuk pintu rumah. Tampe Ruma Sani yang ketakutan tidak berani menjawab apalagi membukakan pintu rumah. Ia selalu mematuhi pesan adiknya agar tidak membuka pintu selain untuk Mahama Laga Ligo. Prajurit itu lalu turun ke kolong rumah untuk mengintip kondisi di dalamnya. Namun ia justru menemukan rambut yang terjulur ke bawah. Dengan rasa penasaran lalu ia menarik rambut itu hingga terdengar teriakan kesakitan seseorang. Rupanya suara itu milik Tampe Ruma Sani yang tengah bersembunyi di bawah meja hingga rambutnya menjuntai dan terlihat oleh sang prajurit.
Karena tetap tidak bisa masuk ke dalam rumah, panglima prajurit itu dan anak buahnya lalu kembali ke istana untuk melaporkan peristiwa tersebut pada sang raja. Mereka kembali lagi ke hutan beberapa hari kemudian dan mendapatkan perlakuan yang sama dari Tampe Ruma Sani yang sedang ditinggal pergi ke pasar oleh adiknya, Mahama Laga Ligo.
Sang Raja dan prajuritnya lalu mendobrak pintu rumah secara beramai-ramai sehingga membuat Tampe Ruma Sani sangat ketakutan. Untunglah di saat yang bersamaan, Mahama Laga Ligo datang. Kesalah pahaman tersebut akhirnya bisa diselesaikan dengan baik. Sang Raja yang terpesona dengan kecantikan Tampe Ruma Sani lalu melamarnya dan membawa gadis baik hati itu bersama sang adik tersayang, Mahama Laga Ligo ke istana. Kehidupan penuh cobaan kakak beradik yang sabar itupun akhirnya berubah bahagia.

Posting Komentar untuk "TAMPE RUMA SANI #tamperumasani #dompu #NTB"