Pulang sekolah, Fardan mendapati sepucuk surat di kamarnya
bersama sebuah bingkisan dari saudara sepupunya di Jakarta. Namanya Gizam.
Dengan riang gembira ia membuka hadiah yang dikirim lewat pos itu.
“Sepertinya
Gizam mau main lagi ke sini, Dan,”ucap Pak Mukti, ayah Fardan.
Dengan bergegas,
Fardan melepas kertas pembungkus. Ternyata sepasang kaos kembar dan topi yang
sama pula. Di dalamnya ada tulisan tangan dari sang pengirimnya.
“Besok Jumat aku main kesini. Aku ingin menghabiskan liburanku
disini bersamamu. Jangan lupa kau cuci dulu kaos dan topi baru ini. Aku ingin
kita memakainya bersama saat bersepeda di pegunungan dan hutan karet yang
sangat aku rindukan. Oh ya, aku datang dengan kereta api dan tiba sekitar jam
satu pagi. Kamu bisa jemput aku di stasiun, kan?”
Begitulah sepucuk
surat dari Gizam yang memang sering berlibur di tempat Fardan. Lelah tinggal di
Jakarta yang ramai dan penuh polusi, Gizam pintar memilih tempat liburan. Dijamin
pikiran bisa segar kembali sepulangnya ke Jakarta nanti.
Tapi jelas
Fardan tidak ingin merepotkan ayahnya. Maka ia segera menghubungi kakak
sepupunya yang lain yaitu Nara. Ia adalah anak dari kakaknya Ayah, Bibi
Sundari. Kebetulan rumahnya tidak begitu jauh. Masih satu RT malah. Nara sudah
kelas sebelas SMA. Jadi tidak masalah jika diminta bantuannya menjemput Gizam
di stasiun kereta jam 1 dini hari.
“Kakak
tidak ada acara, kan?”tanya Fardan untuk memastikan kesiapan Nara.
“Oh, tidak
usah khawatir, Dan. Aku selalu siap membantumu. Terakhir waktu Gizam main
kesini, kita berdua juga, kan, yang menjemputnya?”jawab Nara sambil mengunyah
kacang sukro kesayangannya. Ia sibuk menikmati adu balap motor di layar TV.
“Mau
berapa hari dia di sini?”tanya Nara.
“Aku
kurang tahu. Tapi mungkin sama dengan yang dulu. Sekitar satu minggu,”jawab
Fardan sambil ikut menikmati kacang sukro yang lezat itu.
“Kamu
pasti senang, ya? Soalnya Gizam anaknya yang lucu dan penuh semangat. Dia pasti
akan mengajakmu jalan-jalan di hutan karet,”lanjut Nara. Fardan mengangguk
setuju. Selain itu, Gizam anak yang pemberani. Meski masih kelas enam SD, dia
sudah berani bepergian jauh seorang diri. Gizam hanya diantarkan hingga stasiun
kereta.
Empat hari
kemudian. Tamu yang ditunggu sedang dalam perjalanan. Gizam sudah memberitahu
bahwa ia akan tiba sesuai jadwal yaitu jam 1 pagi. Fardan sendiri tidur lebih
awal dari biasanya agar bisa bangun sekitar jam 12 dan tidak ngantuk saat
menjemput Gizam.
Ia
dibuatkan susu hangat oleh ibunya. Untuk menemani roti brownies kesukaannya.
Tak lama kemudian, Nara datang. Mereka tidak terlihat terburu-buru. Baru pukul
11.30. Apalagi jarak ke stasiun tidak terlalu jauh. Hanya sekitar setengah jam
perjalanan. Baru setelah lewat tengah malam, mereka bergegas berangkat menuju
stasiun kereta.
Tiba di
sana, stasiun ternyata sudah sangat ramai. Baik oleh para penjemput maupun para
penumpang yang baru datang. Rupanya ada juga kereta yang baru tiba dari
Jakarta. Tapi itu kelas ekonomi. Sementara katanya Gizam naik kereta bisnis
yang lebih mahal dan mewah fasilitasnya.
Keduanya
menunggu dengan tenang di tempat yang telah disediakan. Beberapa kereta pun
datang dan pergi. Namun anak yang ditunggu-tunggu belum muncul juga. Hingga jam
dua pagi. Gizam belum menampakkan batang hidungnya.
“Kita pulang
dulu, Dan. Kak Nara lupa bawa HP. Jadi tidak bisa menghubungi siapapun. Kita
telpon Paman Budi, Ayahnya Gizam. Ia naik kereta apa sebenarnya. Kenapa kok
sampai jam segini belum tiba juga,”putus Nara. Nada suaranya terdengar
mengandung kecemasan. Firdan menurut saja. Mereka pun pulang dengan tangan
hampa.
“Maaf,
Paman, kami tidak berhasil menjemput, Gizam. Kami sudah lama menunggu. Anaknya belum
muncul juga. Kita telpon Jakarta dulu, ya?”jelas Nara masih dengan raut muka
cemas setibanya mereka di rumah Fardan. Pak Mukti, Ayah Fardan, malah kaget
mendengar keterangan Nara itu.
“Tidak
perlu. Anaknya sudah sampai setengah jam yang lalu, kok. Itu sekarang sedang
tidur di kamar Fardan. Rupanya dia kecapekan. Jadi langsung istirahat. Aku pikir
Fardan malah main dulu di tempatmu,”Pak Mukti membuka pintu kamar Fardan. Dan disana,
Gizam sudah tertidur dengan pulasnya. Fardan dan Nara saling berpandangan
heran.
“Lho, kok,
bisa, Paman! Terus siapa yang jemput?”tanya Nara penasaran.
“Aku tidak
tahu pasti karena tiba-tiba, Gizam sudah mengetuk pintu. Sementara yang jemput
dia langsung pergi begitu saja. Gizam hanya bilang kalo yang jemput dia itu namanya
Handika. Teman kamu, Nara. Handika bilang kalo ia disuruh kamu untuk
menjemputnya,”jawab Pak Mukti.
Wajah
Handika tiba-tiba berubah ketakutan mendengar jawaban Pak Mukti. Ia lalu
berbisik di telinga Ayah Fardan.
“Handika
itu memang teman dekat yang tinggal diseberang rumahku, Paman. Dia itu anaknya
Pak Jali. Tapi dia sudah meninggal dua minggu yang lalu karena kecelakaan motor
sepulang sekolah. Bagaimana bisa dia datang untuk menjemput Gizam?”tanya Nara
dengan suara bergetar ketakutan.
Pak Mukti
hanya bisa melongo mendengar penjelasan Nara. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi yang pasti ia tidak ingin Gizam tahu sehingga liburannya kali ini tidak
terganggu.
Posting Komentar untuk "Penjemput Misterius #ceritamisterius"