Dahulu
kala ada sebuah desa di Sulawesi Tengah yang masyarakatnya selalu hidup aman dan tenteram. Desa Bulili namanya.
Desa ini dijaga keamanannya oleh tiga orang
tadulako atau panglima perang. Mereka adalah Bantaili, Molove dan Makeku.
Ketiganya
memiliki kesaktian tiada tanding sehingga tidak ada yang berani mengganggu
warga desa. Beberapa perampok yang datang hendak melakukan kejahatan selalu
berhasil ditumpas habis.
Pada
suatu hari desa tersebut kedatangan Raja Sigi yang tertarik pada salah seorang
warganya. Gadis cantik itupun dipersunting untuk menjadi permaisurinya. Raja
Sigi lalu tinggal beberapa waktu lamanya hingga istrinya tersebut hamil.
Namun
entah kenapa, Raja tersebut kemudian pamit untuk kembali ke kerajaannya. Alasannya
ada beberapa urusan penting yang harus diselesaikan. Permaisuri barunya itu ia
tinggal di desa dan tidak dibawa serta ke istana.
Waktu
kemudian berlalu dengan cepat. Istrinyapun melahirkan tanpa didampingi sang
suami tercinta. Bayinya perempuan dan cantik seperti ibunya. Selama ditinggal
Raja Sigi suaminya, si ibu harus berjuang menghidupi anaknya seorang diri. Raja
Sigi sepertinya sudah tidak mau bertanggung jawab untuk menafkahi.
Hal
itu membuat para pemuka adat resah dan kecewa dengan sikap Raja Sigi. Mereka lalu
memutuskan untuk mengirim kedua panglima perangnya, Makeku dan Bantaili untuk
meminta pertanggungjawaban Raja Sigi. Apalagi istrinya bukan orang berada. Boleh
dibilang hidup serba kekurangan. Namun setibanya di istana, mereka disambut
dengan sinis oleh Raja Sigi.
“Maafkan
atas kelancangan kami, Baginda. Tapi kami datang mewakili istri paduka untuk meminta bantuan membiayai kehidupan putri paduka yang baru
lahir,”mohon tadulako Makeku dengan sopan.
“Sebenarnya
aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan wanita itu. Apalagi ada banyak urusan
yang harus aku selesaikan. Jadi sebaiknya kalian pulang saja,”balas Raja Sigi
ketus.
“Kami
tidak bisa kembali dengan tangan kosong, Baginda. Apakah tidak ada sedikitpun
terbersit rasa kasihan untuk istri dan anak Baginda yang baru lahir. Mereka orang
miskin dan sangat butuh bantuan ,”ucap Panglima Perang Bantaili mencoba
bersabar.
“Baiklah
jika itu mau kalian. Di belakang istana ada lumbung padi yang cukup penuh
isinya. Kalau kalian bisa, angkat saja sendiri. Aku tidak mau mengotori
tanganku yang halus ini,”jawab Raja Sigi sekenanya saja. Ia pikir kedua orang
dihadapannya ini tidak akan mungkin bisa membawa lumbung besar tempat
persediaan makanan istana itu disimpan.
Merasa
telah mendapat ijin, kedua panglima perang itupun dengan entengnya membawa
lumbung padi untuk di bawa pulang dan diserahkan ke istri Raja Sigi. Mereka
memiliki kesaktian luar biasa sehingga bisa melakukan hal itu dengan mudah.
Tentu
saja Raja Sigi menjadi marah karenanya. Ia lalu mengerahkan para prajuritnya
untuk mengejar dan menangkap kedua panglima perang itu. Namun usaha mereka
gagal ketika tiba disebuah sungai besar yang deras airnya.
Tadulako
Makeku dan Bantaili bisa menyeberangi sungai dengan sekali lompat. Sementara para prajurit yang mengejar mereka,
walaupun menunggang kuda, mereka tidak sanggup untuk melompati sungai yang
demikian lebar. Apalagi mereka juga tidak memiliki kesaktian yang cukup untuk
menandingi kedua tadulako sakti itu. Mereka lalu kembali ke istana dengan
tangan hampa.
Posting Komentar untuk "PANGLIMA PERANG DESA BULILI (Cerita dari Sulawesi Tengah) #desabulili #sulawesitengah"