Ternyata kebahagiaan Nanda bisa sekolah di SMP
Tunas Bangsa hanya sebentar. Sekolah favorit yang menjadi tujuan banyak siswa
setelah selesai belajar di Sekolah Dasar (SD) itu tidaklah seindah omongan
banyak orang.
Itu karena sekolah ini sebenarnya termasuk sekolah
elit berbiaya mahal. Oleh karena itu hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa
masuk ke sini. Kecuali Nanda yang mendapat beasiswa dari sekolah karena
prestasinya di SD cukup membanggakan.
“Hai, tukang cilok! Sedang apa kamu? Oh, lagi
menghitung uang receh habis jualan, ya? Jajanan kelas bawah yang tidak ada
rasanya itu!,”ejek Sindu dan anggota gangnya yang sangat suka membuly
teman-temannya terutama yang lemah dan tidak mau melawan. Mereka tertawa
terbahak-bahak ketika melihat Nanda ternyata tidak mempedulikan hal itu. Anak
itu pergi meninggalkan mereka tanpa membalas sepatah katapun.
Dan sikapnya sungguh benar. Karena jika melawan, ia
malah bisa di pukuli atau makin dihina sebagai anak penjual cilok. Pekerjaan
sang ayah yang telah ditekuni selama bertahun-tahun untuk menghidupi anak dan
istrinya.
“Halo, penakut! Kenapa kabur? Mau pergi ke WC dan
mewek di sana, ya?”tegur Sindu lagi yang tampak masih penasaran dengan sikap
Nanda. Ia berharap anak itu menjadi kesal sehingga ia dan gangnya ada
kesempatan untuk melampiaskan hobi mereka memukuli orang lain untuk
menghilangkan depresi yang mereka alami.
Ketika teman-temannya sudah pergi, rupanya Sindu
masih penasaran dengan sikap Nanda yang tenang. Ia lalu mengikuti anak itu yang
ternyata hendak menuju ke toilet.
Namun ia kaget karena tiba-tiba saja seseorang
menarik kerah bajunya dan mendorongnya ke dinding. Lebih kaget lagi ketika tahu
siapa yang melakukannya.
“Lama aku ingin melakukan ini tapi selalu kutahan.
Makanya aku memberanikan diri untuk bicara denganmu. Berkali-kali kamu sama
gangmu menghina aku. Tidak apa-apa. Aku menerima. Tapi yang aku tidak suka
kalau kamu menghina ayahku. Tukang ciloklah. Orang melaratlah. Manusia rendahanlah.
Itu yang aku tidak terima,”Nanda mengerahkan sedikit tenaganya hingga tubuh
Sindu terangkat naik dan gemetaran.
“Kali ini kamu tahu aku bukan pengecut. Bahkan jika
seluruh gangmu datang menyerangku,”lanjut Nanda sambil menurunkan tubuh Sindu
pelan-pelan. Setelahnya ia pergi begitu saja meninggalkan Sindu yang ketakutan.
Hari berikutnya, Sindu dan gangnya mencari-cari
Nanda untuk membalas dendam. Ia cari anak itu di segala penjuru. Di perpustakaan
tempat ia sering membaca buku. Di kantin yang bahkan ia jarang pergi ke sana
karena lebih sering tidak punya uang. Atau di masjid sekolah tempat ia sering
berdoa. Namun hasilnya nihil.
Mereka bertanya kepada siapa saja yang sekiranya
tahu keberadaan anak itu. Tapi lagi-lagi tidak ada jawaban yang memuaskan. Hingga
akhirnya mereka bertemu Bu Widi, wali kelas Nanda.
“Nanda sudah keluar dari sekolah. Jadi kemarin adalah hari terakhir ia masuk
sekolah karena ijin-ijin sudah diurus jauh sebelumnya,”jelas Bu Widi yang
membuat Sindu dan gangnya tersenyum kecut. Namun mereka masih belum puas. Maka pulang
sekolah di carinya Nanda hingga ke rumahnya. Sayangnya hasilnya juga nihil.
“Oh…Nanda dan keluarganya sudah pindah ke
Kalimantan. Mereka berangkat tadi pagi. Sepertinya mereka akan lama di sana
karena ingin merubah nasib. Maklumlah di sini ayah Nanda hanya penjual cilok.
Ekonomi keluarga Nanda sangat kekurangan,”jawab seorang pemuda tetangga Nanda.
Kali ini Sindu hanya bisa tersenyum pasrah. Dendam
dan sakit hatinya masih akan terus tersimpan lama di dadanya. Atau malah bisa
selamanya jika ia tidak pernah lagi bertemu dengan Nanda di masa depan.
Posting Komentar untuk "JANGAN HINA ORANG TUAKU #orangtua"