Lingga termenung. Ia terduduk lemas.
Di pandangnya ijasah SD yang baru ia peroleh itu dengan getir. Nilainya bagus.
Nyaris sempurna malah. Betapa bangga mereka yang menjadi orang tuanya. Tidak
sia-sia mereka berjuang membesarkan dirinya.
Namun
air matanya mengalir membasahi pipi. Bukan bahagia tapi masa depan suram sudah
menanti di depan mata. Adiknya ada tujuh. Ia yang paling besar. Orang tuanya
hanya seorang buruh tani miskin. Untuk makan saja mereka kepayahan. Sehari-hari
lebih sering berpuasa. Terlihat hebat memang. Namun lebih karena tidak ada yang
bisa dimakan.
Lingga
ingin melanjutkan sekolah. Tapi tak tega jika melihat adik-adiknya yang juga
harus sekolah. Sementara tak ada sepatah katapun dari orang tuanya untuk
memintanya melanjutkan ke SMP. Bukan karena mereka tidak peduli. Tapi Lingga
tahu mereka jelas tidak mampu.
Maka
tak ada pilihan lain. Ia harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Membantu orang
tua mencari nafkah demi ketujuh adiknya. Maka sejak saat itu, ia terpaksa berhenti
sekolah. Banyak yang menyayangkan kenapa keputusan itu yang diambil. Bukankah
ia bisa mendapat beasiswa karena prestasinya. Ia cerdas dan pintar. Baik dan
penuh semangat. Banyak sekolah yang siap menampung. Banyak orang mampu yang
siap membantu. Menjadi sponsor bagi sekolahnya.
Tapi
bagi Lingga itu tidak cukup. Ia mungkin bisa tertolong tapi bagaimana dengan
nasib adik-adiknya? Apa para dermawan itu juga sanggup menjamin kehidupan
mereka. Tentu saja tidak semudah itu. Mereka mampu, belum tentu ikhlas bukan?
“Maafkan
saya, Bu. Untuk saat ini hanya cara inilah yang bisa saya tempuh. Kelak jika
ada jalan lain, saya pasti tidak akan tinggal diam,”tolak Lingga halus ketika
Bu Irma, gurunya datang untuk membujuknya melanjutkan sekolah.
Hari-hari
berikutnya ia jalani dengan penuh kesabaran. Lingga bekerja apa saja untuk bisa
mendapatkan uang. Menjadi tukang parkir. Tukang angkut barang di pasar. Kerja
bangunan sampai tukang cuci piring di warung-warung makan. Bahkan jika semua
itu tidak ada lowongan, ia nekad jadi tukang rongsok demi mendapatkan seperak
dua perak uang untuk makan adik-adiknya.
Tangan-tangan
kecilnya kini semakin kering, kusam dan letih. Namun jika melihat adik-adiknya
di rumah, Lingga tetap bersemangat. Untuk menghibur diri, ia sering bermain bola
di lapangan kecamatan bersama teman-temannya yang lain. Penampilannya sangat
berbeda di bandingkan yang lain. Ya, dialah anak yang satu-satunya bermain bola
tanpa alas kaki. Bukan sok jago, tapi ia memang tidak punya sepatu bola.
Namun
begitu penampilannya tidak boleh dipandang remeh. Tubuhnya boleh kurus dan
kucel, tapi permainannya luar biasa. Geraknya sulit ditebak dan kecepatannya
luar biasa. Hanya saja tenaganya cepat habis karena memang Lingga tidak cukup
makanan bergizi.
Suatu
hari, selepas bermain bola, ia di datangi seorang pria paruh baya. Lingga yang
tengah bersandar di bawah pohon karena kecapekan tetap menyambutnya dengan
ramah ketika pria itu mengajukan beberapa pertanyaan.
“Saya
adalah pelatih salah satu klub besar Indonesia yang tengah mencari bibit-bibit
berbakat untuk kita didik dan kembangkan agar menjadi pemain profesional yang
sukses. Kalo kamu mau, ikutlah dengan saya dan bergabunglah dengan akademi
sepak bola milik kami besok,”bujuk pria tersebut yang mengaku bernama Pak
Santo.
Lingga
senang sekali mendengar tawaran tersebut. Tapi ia bingung harus bagaimana
karena kondisi keluarganya sangat tidak mungkin untuk ia tinggal.
“Maaf.
Bukannya saya menolak. Tapi Bapak pasti akan mengerti jika telah datang ke
rumah saya,”jawab Lingga sedih. Pak Santo lalu diajaknya main ke rumahnya.
Lingga yang sudah putus asa tidak bisa berkata apa-apa lagi seandainya Pak
Santo membatalkan niatnya.
“Oh,
jadi kamu tidak tega meninggalkan orang tua dan adik-adikmu ini? Tidak usah
khawatir. Akan saya tanggung seluruh biaya hidup keluargamu. Kamu selain
belajar bermain bola yang benar, masih tetap bisa sekolah seperti anak-anak
lainnya. Akademi kami adalah salah satu yang terbaik di Indonesia,”jelas Pak
Santo. Sungguh di luar dugaan Lingga.
Akhirnya,
Lingga kembali bisa melanjutkan sekolahnya sekaligus bakatnya bermain bola
semakin terasah. Ia tidak perlu khawatir lagi karena keluarganya kelaparan. Pak
Santo telah menanggung semua kebutuhan mereka.
Waktu
berganti dan tahun demi tahun berlalu dengan cepatnya. Lingga tumbuh menjadi
pesepak bola yang hebat. Ia bermain untuk salah satu klub hebat di Eropa. Dengan
gajinya sekarang, ia bisa membuat kedua orang tuanya bahagia. Adik-adiknyapun
berhasil sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi darinya. Sementara biaya
pembelian dirinya yang mahal mampu membantu keuangan klub yang telah membimbingnya sejak kecil. Pak
Santo selalu bisa tersenyum sekarang jika melihat usaha gigihnya dalam membujuk
Lingga akhirnya tidak sia-sia.
Posting Komentar untuk "PILIHAN TERSULIT #pilihan"