Legenda Air Terjun Mandin Tangkaramin #mandintangkaramin #legenda


Dahulu kala di Desa Malinau, Kalimantan Selatan, tinggallah dua orang pemuda sakti yang memiliki sifat saling bertentangan. Pemuda pertama bernama Bujang Alai yang merupakan anak orang kaya dan sangat tampan wajahnya. Segala kemewahan yang ia dapat dari kecil membuatnya tumbuh menjadi anak yang sombong dan angkuh.
Sedangkan pemuda yang satunya lagi bernama Bujang Kuratauan yang berasal dari keluarga sederhana. Wajahnya juga biasa saja. Tidak tampan tapi juga tidak jelek.
Bujang Alai memiliki kebiasaan membawa keris kebanggaannya kemanapun ia pergi. Keris itu selalu terselip di pinggangnya dan sering digunakan untuk memaksakan kehendaknya dengan menakuti dan mengancam para penduduk yang tidak berani melawan dirinya karena mereka takut pada ayahnya yang kaya raya dan memiliki banyak anak buah.
Hanya ada satu orang yang berani menantang kesewenang-wenangan Bujang Alai. Dia adalah Bujang Kuratauan. Pemuda sederhana namun cerdas dan bijaksana sehingga para penduduk hormat dan segan padanya. Bujang Kuratauan juga selalu membawa senjata andalannya kemanapun ia pergi untuk berjaga-jaga dari serangan orang jahat. Senjatanya adalah parang bungkul yang sederhana namun sangat ampuh jika sudah digunakan untuk membela diri.
Suatu hari, di Desa Malinau ada seorang gadis yang raib tak tentu rimbanya. Keluarga dan warga yang turut membantu mencari ke segala penjuru untuk menemukan gadis tersebut gagal menemukan dirinya. Ketika mereka mulai putus asa, Bujang Alai muncul dan berteriak lantang.
“Gadis yang kalian cari sebenarnya ada di rumahku karena akulah yang membawanya kemarin. Barang siapa yang ingin mengambilnya silahkan maju dan berhadapan denganku,”ucapnya sambil membusungkan dada. Warga yang mendengar itu langsung berpaling pada Bujang Kuratauan karena mereka tahu tantangan itu sebenarnya ditujukan pada sang pemuda. Tidak ada yang mampu menandingi kesaktian Bujang Alai selain anak muda itu.
”Apa maksudmu, Bujang Alai? Tindakanmu jelas-jelas salah jadi lepaskan gadis itu sekarang juga, atau…”hardik Bujang Kuratauan mulai naik darahnya melihat kelakuan musuh bebuyutannya itu.
“Atau apa? Kau mau menghukumku? Mau jadi pahlawan kesiangan, ya?”balas Bujang Alai mengejek,”Ayo, maju dan lawan aku kalau berani!”
Bujang Kuratauan yang sudah terbakar emosi langsung menjawab tantangan tersebut. Para penduduk langsung menyingkir memberikan ruang kepada keduanya untuk bertarung. Pertarungan seru berlangsung sengit. Masing-masing mengeluarkan jurus andalannya menggunakan senjata yang biasa di pakai untuk bertarung.
Bujang Alai dengan kerisnya tampak sangat bersemangat karena ia punya kesempatan untuk menghabisi musuh besarnya itu. Jika Bujang Kuratauan bisa disingkirkan maka tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu setiap tindakannya. Ia bisa berbuat sesukanya kepada siapapun. Pertarungan berlangsung seru tanpa ada yang menang. Karena itu pertarungan dilanjutkan keesokan harinya. Bujang Alai menantang musuhnya itu untuk bertarung di air terjun Mandin Tangkaramin yang tidak jauh dari desa tersebut. Air terjun tersebut berada di tengah hutan lebat. Tidak terlalu tinggi sehingga cocok digunakan beradu kesaktian.
Setelah bertemu keesokan harinya, pertarungan kembali dilanjutkan. Namun kali ini Bujang Alai harus mengakui kesaktian lawannya. Ia mati dihantam parang bungkul milik Bujang Kuratauan. Maka berakhir sudah kesombongannya. Ia mati oleh karena keangkuhannya sendiri.
Namun kematian tersebut justru menjadi awal dari keributan lainnya. Keluarga Bujang Alai tentu saja tidak bisa menerima kematian pemuda sombong itu. Mereka lalu bertekad untuk menuntut balas.
Ditengah malam gulita, mereka datang untuk menyerang Bujang Kuratauan dan keluarganya yang berlari ke dalam hutan dengan membawa obor sebagai penerang. Ayah Bujang Kuratauan yang kenal sekali dengan medan di hutan tersebut berada paling depan. Mereka lalu melangkah menuju ke sungai tempat air terjun Mandin Tangkaramin mengalir.
Obor itu lalu dibuang ke dasar sungai untuk mengelabui lawan. Keluarga Bujang Alai yang tidak hafal daerah itu terus saja mengikuti jatuhnya obor ke dasar sungai. Mereka ikut jatuh dan menghantam bebatuan tajam yang ada di dasar sungai.
Menurut penduduk desa, batu-batu itu berubah merah seperti kulit manggis karena terkena tetesan darah keluarga Bujang Alai.  Mereka menamakan batu-batu merah tersebut Manggu Masak. Sekaligus untuk mengenang kesombongan Bujang Alai dan keluarganya agar tidak ditiru oleh generasi berikutnya.

Posting Komentar untuk "Legenda Air Terjun Mandin Tangkaramin #mandintangkaramin #legenda"