Dahulu
kala di Desa Malinau, Kalimantan Selatan, tinggallah dua orang pemuda sakti
yang memiliki sifat saling bertentangan. Pemuda pertama bernama Bujang Alai yang
merupakan anak orang kaya dan sangat tampan wajahnya. Segala kemewahan yang ia
dapat dari kecil membuatnya tumbuh menjadi anak yang sombong dan angkuh.
Sedangkan
pemuda yang satunya lagi bernama Bujang Kuratauan yang berasal dari keluarga
sederhana. Wajahnya juga biasa saja. Tidak tampan tapi juga tidak jelek.
Bujang
Alai memiliki kebiasaan membawa keris kebanggaannya kemanapun ia pergi. Keris
itu selalu terselip di pinggangnya dan sering digunakan untuk memaksakan
kehendaknya dengan menakuti dan mengancam para penduduk yang tidak berani
melawan dirinya karena mereka takut pada ayahnya yang kaya raya dan memiliki
banyak anak buah.
Hanya
ada satu orang yang berani menantang kesewenang-wenangan Bujang Alai. Dia
adalah Bujang Kuratauan. Pemuda sederhana namun cerdas dan bijaksana sehingga
para penduduk hormat dan segan padanya. Bujang Kuratauan juga selalu membawa
senjata andalannya kemanapun ia pergi untuk berjaga-jaga dari serangan orang
jahat. Senjatanya adalah parang bungkul yang sederhana namun sangat ampuh jika
sudah digunakan untuk membela diri.
Suatu
hari, di Desa Malinau ada seorang gadis yang raib tak tentu rimbanya. Keluarga
dan warga yang turut membantu mencari ke segala penjuru untuk menemukan gadis
tersebut gagal menemukan dirinya. Ketika mereka mulai putus asa, Bujang Alai
muncul dan berteriak lantang.
“Gadis
yang kalian cari sebenarnya ada di rumahku karena akulah yang membawanya
kemarin. Barang siapa yang ingin mengambilnya silahkan maju dan berhadapan
denganku,”ucapnya sambil membusungkan dada. Warga yang mendengar itu langsung
berpaling pada Bujang Kuratauan karena mereka tahu tantangan itu sebenarnya
ditujukan pada sang pemuda. Tidak ada yang mampu menandingi kesaktian Bujang
Alai selain anak muda itu.
”Apa
maksudmu, Bujang Alai? Tindakanmu jelas-jelas salah jadi lepaskan gadis itu
sekarang juga, atau…”hardik Bujang Kuratauan mulai naik darahnya melihat
kelakuan musuh bebuyutannya itu.
“Atau
apa? Kau mau menghukumku? Mau jadi pahlawan kesiangan, ya?”balas Bujang Alai
mengejek,”Ayo, maju dan lawan aku kalau berani!”
Bujang
Kuratauan yang sudah terbakar emosi langsung menjawab tantangan tersebut. Para
penduduk langsung menyingkir memberikan ruang kepada keduanya untuk bertarung.
Pertarungan seru berlangsung sengit. Masing-masing mengeluarkan jurus
andalannya menggunakan senjata yang biasa di pakai untuk bertarung.
Bujang
Alai dengan kerisnya tampak sangat bersemangat karena ia punya kesempatan untuk
menghabisi musuh besarnya itu. Jika Bujang Kuratauan bisa disingkirkan maka
tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu setiap tindakannya. Ia bisa berbuat
sesukanya kepada siapapun. Pertarungan berlangsung seru tanpa ada yang menang. Karena
itu pertarungan dilanjutkan keesokan harinya. Bujang Alai menantang musuhnya
itu untuk bertarung di air terjun Mandin Tangkaramin yang tidak jauh dari desa
tersebut. Air terjun tersebut berada di tengah hutan lebat. Tidak terlalu
tinggi sehingga cocok digunakan beradu kesaktian.
Setelah
bertemu keesokan harinya, pertarungan kembali dilanjutkan. Namun kali ini
Bujang Alai harus mengakui kesaktian lawannya. Ia mati dihantam parang bungkul
milik Bujang Kuratauan. Maka berakhir sudah kesombongannya. Ia mati oleh karena
keangkuhannya sendiri.
Namun
kematian tersebut justru menjadi awal dari keributan lainnya. Keluarga Bujang
Alai tentu saja tidak bisa menerima kematian pemuda sombong itu. Mereka lalu
bertekad untuk menuntut balas.
Ditengah
malam gulita, mereka datang untuk menyerang Bujang Kuratauan dan keluarganya
yang berlari ke dalam hutan dengan membawa obor sebagai penerang. Ayah Bujang
Kuratauan yang kenal sekali dengan medan di hutan tersebut berada paling depan.
Mereka lalu melangkah menuju ke sungai tempat air terjun Mandin Tangkaramin
mengalir.
Obor itu lalu dibuang ke dasar sungai untuk
mengelabui lawan. Keluarga Bujang Alai yang tidak hafal daerah itu terus saja
mengikuti jatuhnya obor ke dasar sungai. Mereka ikut jatuh dan menghantam
bebatuan tajam yang ada di dasar sungai.
Menurut penduduk desa, batu-batu itu berubah merah
seperti kulit manggis karena terkena tetesan darah keluarga Bujang Alai. Mereka menamakan batu-batu merah tersebut
Manggu Masak. Sekaligus untuk mengenang kesombongan Bujang Alai dan
keluarganya agar tidak ditiru oleh generasi berikutnya.
Posting Komentar untuk "Legenda Air Terjun Mandin Tangkaramin #mandintangkaramin #legenda"