Ada juga seorang dewa dari kahyangan
yang turun ke bumi lalu berubah menjadi seorang pemuda tampan bernama
Jilomoto. Pada suatu hari, Jilomoto
sedang berjalan-jalan di hutan dan melewati sebuah mata air yang dikenal dengan
nama mata air Tupalo. Ia heran sekali ketika mendengar suara banyak perempuan
sedang tertawa dan bersendau gurau dengan riang gembira.
Karena penasaran, ia lalu mengintip
dari balik rimbunnya semak-semak di tepi mata air. Dari sana Jilomoto menemukan
pemandangan yang tak terduga. Ada tujuh bidadari yang sangat cantik sedang
mandi. Sementara itu tujuh sayap mereka di letakkan di bebatuan yang berada di
tepi mata air. Jilomoto mengambil salah satu dan menyembunyikannya di balik
pohon tidak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Setelah selesai mandi, para bidadari
itu lalu memasang sayapnya kembali dan terbang ke kahyangan. Namun ada satu
yang tertinggal. Ia tidak bisa kemana-mana karena sayap miliknya lenyap. Hilang
entah kemana. Bidadari itu bernama Mbu’i Bungale. Ia merupakan bidadari tertua.
Ia menangis sedih setelah gagal menemukan sayap miliknya.
Jilomoto lalu keluar dari tempat
persembunyian dan bertanya pada Mbu’i Bungale apa yang membuatnya menangis.
“Aku adalah bidadari dari kahyangan.
Namun aku tidak bisa kembali ke sana karena sayap ku hilang. Seseorang pasti
telah mencuri sayapku itu,” jawab Mbu’i Bungale sambil terisak-isak menahan
kesedihan yang dalam.
“Kalau begitu, sebaiknya kau ikut saja
denganku. Kita menikah dan tinggal di bumi untuk membesarkan anak-anak
kita,”ajak Jilomoto penuh harap.
Mbu’i Bungale akhirnya setuju karena
ia memang tidak punya pilihan lain. Mereka lalu menikah dan membuat rumah di
puncak bukit Huntu lo Tiopol. Mereka beternak dan bercocok tanam untuk bertahan
hidup. Meskipun serba sederhana namun mereka berdua sangat bahagia. Saling
bantu dan menyayangi.
Setelah beberapa waktu lamanya tinggal
di bumi, ada utusan dari kahyangan membawa batu mustika sebesar telur itik.
Batu mustika itu dinamakan Bimulela. Mbu’i Bungale meletakan Bimulela di dekat
mata air Tupalo dan menutupinya dengan sebuah tudung atau caping agar tidak
terkena panas dan hujan.
Pada suatu hari, datanglah empat orang
pengembara ke tempat itu. Ketika sedang beristirahat untuk melepas lelah, salah
seorang diantaranya secara tidak sengaja menemukan Bimulela yang tertutup
tudung atau caping. Ia lalu memanggil tiga temannya untuk melihat apa isi
dibalik tudung tersebut.
Namun ketika akan membuka tudung,
tiba-tiba muncul angin besar disertai hujan dan petir yang menggelegar.
Keempatnya lalu menyingkir untuk mencari perlindungan. Setelah keadaan aman
kembali, mereka yang makin penasaran kembali mendekati tudung itu. Salah
seorang diantaranya lalu membaca mantra sakti dan meludahi tudung itu dengan
air sepahan. Mereka lalu berhasil membuka tudung dan melihat batu mustika
Bimulela di dalamnya.
Ketika akan mengambil Bimulela, Mbu’i
Bungale datang bersama Jilomoto suaminya. Mereka berencana mengambil batu
mustika untuk disimpan ditempat yang lebih aman.
“Batu mustika ini milik kami karena
kami yang menemukannya. Kalian berdua kan baru datang jadi jangan mengaku-aku
begitu saja tanpa bukti yang kuat,”jelas salah seorang pengembara bersikeras
untuk memiliki Bimulela.
“Baiklah jika begitu. Sekarang saya
tantang kalian, jika berhasil memperluas mata air Tupalo maka batu mustika itu
jadi milik kalian,”ucap Mbu’i Bungale dengan nada geram karena sikap keras
kepala keempat pengembara tersebut.
Keempatnya lalu mengeluarkan segenap
kesaktiannya untuk memperluas mata air Tupalo. Sayangnya meski telah berusaha
sekuat tenaga, mereka gagal. Mbu’i Bungale lalu merapal mantera. Tak lama
kemudian tanah bergetar dengan kerasnya dan keluarlah air yang meluap-luap dari
mata air Tupalo. Mbu’i Bungale dan Jilomoto aman karena langsung berlari
mencari dataran yang paling tinggi. Namun tidak dengan keempat pengembara.
Mereka memanjat pohon kapas lalu berteriak-teriak ketakutan dan memohon ampun
pada Mbu’i Bungale karena air terus naik dan sebentar lagi menenggelamkan tubuh
mereka.
Mbu’i Bungale sekali lagi komat kamit
merapal mantera sehingga luapan air berhenti seketika. Ia lalu mengampuni
keempat pengembara tersebut dan mengajaknya datang ke rumah. Namun sebelum
pulang, ia lalu menyentuh batu mustika dengan lemah lembut. Keajaiban terjadi.
Dari batu itu lalu muncul seorang bayi perempuan yang cantik jelita dan diberi
nama Tolango Hula atau cahaya bulan. Kelak ia akan menjadi pemimpin wilayah
Limboto.
Sementara itu mata air Tupolo yang
kini telah berubah menjadi sebuah danau diberi nama Bulalo lo Limutu atau
sekarang lebih dikenal dengan nama Danau Limboto. Nama itu diberikan karena
Mbu’i Bungale menemukan lima buah jeruk terapung-apung di tengah danau dan
bentuknya persis seperti jeruk dari
kahyangan.
Posting Komentar untuk "Asal Mula Terjadinya Danau Limboto (Cerita dari Gorontalo) #danaulimboto"