Dahulu kala, di daerah Kudus, Jawa Tengah, hiduplah seorang hartawan terpandang bernama Ki Ageng Kedungsari. Ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Anak tersebut dirawatnya dengan sangat hati-hati. Dilindungi dan disayang sepenuh hati hingga menjadi seorang pemuda dewasa yang siap berumah tangga.
Namun karena ia belum memiliki
pacar atau seorang gadis yang ia cintai, maka Ki Ageng Kedungsari sendiri yang
bertekad untuk mencarikan jodoh bagi anaknya tersebut. Ia lalu mendengar bahwa
di daerah Jepara ada seorang gadis yang sangat cantik, putri seorang terpandang
bernama Ki Ageng Rajekwesi. Iapun menjadi tertarik dan berniat melamar gadis
tersebut untuk putra kesayangannya.
Maka segeralah dikirim utusan ke
Jepara untuk mengajukan lamaran. Merekapun diterima dengan penuh sukacita oleh
tuan rumah dan disuguhi makanan dan hiburan yang meriah oleh Ki Ageng
Rajekwesi.
“Sesungguhnya tidak hanya kalian
yang telah datang kemari dan mengajukan lamaran. Banyak tamu yang telah
berkunjung sebelumnya. Namun putriku
mengajukan syarat berupa seekor gajah sebagai hadiah pernikahan. Jika ada yang
sanggup memenuhi permintaan tersebut maka ia bersedia menjadi istrinya,”jelas
Ki Ageng Rajekwesi menjawab lamaran dari Kudus.
Utusan lalu pulang dan mengabarkan
berita tersebut kepada Ki Ageng Kedungsari. Secara kebetulan ia memang
memelihara seekor gajah yang sangat disayanginya. Tentu bukan hal yang sulit
untuk melepasnya demi putra tersayangnya.
“Baiklah. Meski berat harus
melepas binatang kesayanganku. Apapun demi putraku pasti akan aku turuti. Kita
berangkat besok membawa persyaratan yang diminta sang putri,”jawab Ki Ageng
Kedungsari menanggapi hasil lamaran yang diperoleh sang utusan.
Berita tersebut lalu menyebar ke
segala penjuru dan menjadi perbincangan masyarakat luas. Salah satunya adalah
Ki Ageng Menawan. Ia tampak iri mendengar kisah Ki Ageng Kedungsari dan
putranya yang sebentar lagi akan menikah. Ia lalu menghubungi sahabatnya yang
terkenal sakti mandraguna. Namanya Ki Watu Gede.
“Jika rombongan Ki Ageng
Kedungsari tiba di daerahmu, rampaslah seluruh harta benda yang mereka bawa.
Semua harta benda bisa jadi milikmu tapi khusus gajahnya itu untukku,”pinta Ki
Ageng Menawan kepada sang sahabat. Ki Watu Gede mengangguk setuju meski di
dalam hati ia punya rencana lain. Ia tidak hanya mengincar harta milik Ki Ageng
Kedungsari tapi juga ingin memiliki gajah tersebut untuk melamar putri Ki Ageng
Rajekwesi.
Tak lama kemudian, rombongan Ki
Ageng Kedungsari tiba di wilayah kekuasaan Ki Watu Gede. Mereka memutuskan
untuk beristirahat di tempat tersebut. Namun belum hilang lelahnya, mereka di
serang oleh Ki Watu Gede dan Ki Menawan yang berniat merampas harta benda dan
gajah milik Ki Ageng Kedungsari.
Terjadilah pertarungan sengit
hingga berhari-hari lamanya. Ketiganya ternyata memiliki kesaktian yang
seimbang sehingga akhirnya gajah yang akan dijadikan syarat lamaran dibagi
menjadi tiga bagian. Ki Menawan mendapatkan kepala sang gajah. Ki Ageng
Kedungsari berhak atas tubuhnya. Sementara Ki Watu Gede mendapat jatah atas
pantat atau ekor si gajah malang.
Atas kejadian itu, di tengah masyarakat
berkembanglah sebuah kepercayaan dimana kelak setelah kejadian tersebut, maka
keturunan Ki Menawan terkenal akan keberaniannya. Sedangkan keturunan Ki Ageng
Kedungsari banyak rejekinya atau bagus ekonominya dibandingkan keturunan Ki
Watu Gede yang banyak mengalami kesulitan ekonomi.
Saat ini bagian dari gajah
tersebut dapat kita temukan dalam bentuk batu besar di Desa Kedungsari dan Desa
Menawan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Satunya lagi ada di Desa Watu Gede,
Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Posting Komentar untuk "LEGENDA BATU GAJAH KUDUS"