ASAL USUL PESUT MAHAKAM

           

Alkisah, dahulu ada seorang lelaki bernama Pak Ipung yang tinggal di sebuah pedalaman di wilayah Kecamatan Muara Muntai Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Ia tinggal dengan dua orang anak yang masih kecil yang ia rawat seorang diri sejak istrinya meninggal karena sakit.

            Meski lelah Pak Ipung tetap bersemangat mencari nafkah dengan berjualan kayu bakar di pasar. Pagi hari setelah mencuci baju, memasak dan memandikan kedua anaknya, ia menyempatkan untuk makan bersama keduanya sebelum berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar hingga sore hari ia pulang kembali ke rumah.

            Rutinitas tersebut ia jalani selama berbulan-bulan lamanya. Mulanya enteng saja namun lama kelamaan ia tidak tega harus meninggalkan kedua anaknya di rumah tanpa ada yang menjaga dan mendidik mereka. Akhirnya Pak Ipung menikah lagi dengan wanita yang menurutnya baik dan mau menerima kedua anaknya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

            Maka keluarga kecil itu semakin berwarna dengan kehadiran ibu baru di tengah-tengah mereka. Segalanya berjalan indah pada awalnya. Ibu tiri terlihat sangat baik dan sayang pada kedua anak Pak Ipung. Sampai akhirnya watak aslinya ketahuan. Apalagi jika Pak Ipung sedang tidak ada di rumah. Ibu tiri tersebut sering berlaku kasar dan menyiksa kedua anak tirinya yang masih kecil.

            Mereka dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari. Mereka harus mau mencuci baju, mencuci piring, membersihkan rumah dan  pekarangan, serta menimba air di sungai. Ibu tirinya hanya duduk ongkang-ongkang sementara semua pekerjaan di selesaikan oleh anaknya. Jika ada yang tidak sesuai dengan perintahnya, ia akan marah dan membentak kedua anak malang tersebut. Bahkan tak jarang mendapat pukulan yang menyakitkan. Sungguh kasihan tapi mereka tak kuasa melaporkannya kepada sang ayah yang terlihat bahagia karena tidak tahu kenyataan yang sesungguhnya.

            “Sekarang kalian cari kayu bakar di hutan karena kayu yang untuk masak di dapur  sudah habis. Kalau menunggu ayah kalian pulang kelamaan. Ingat jangan kembali jika belum mengumpulkan kayu untuk masak selama seminggu!”perintah ibu tiri tanpa belas kasihan.

            Akhirnya kedua anak tersebut berangkat ke hutan. Karena badan dan tenaga mereka masih kecil tentu butuh waktu berhari-hari untuk mendapatkan kayu sebanyak permintaan ibu tirinya. Mereka terpaksa menginap di hutan dan bertahan hidup dengan memakan buah-buah yang mereka temui di hutan. Hingga dirasa kayu yang dikumpulkan telah cukup, mereka baru berani pulang ke rumah. Namun sesampainya di rumah mereka tidak menemukan ayah dan ibu tirinya. Karena lapar mereka lalu makan hingga kenyang sambil menunggu kedua orang tuanya pulang. Makanan yang ada hampir habis ketika Pak Ipung dan istrinya pulang.

            Hal itu membuat Pak Ipung marah sekali. Ia yang mendapat laporan dari istrinya yang jahat bahwa kedua anaknya pergi bermain-main di luar hingga lupa pulang tak sanggup lagi menahan emosinya yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubun.

            “Ayah tidak menyangka kalian jadi nakal begini. Sudah berhari-hari kabur dari rumah, pulang-pulang kalian menghabiskan makanan yang ada dengan rakusnya. Kalian ini bukan anak manusia tapi pantasnya anak ikan!”bentak Pak Ipung dengan nada tinggi.

            Keduanya terkejut bukan main mendapat bentakan dari ayahnya yang sejak dulu dikenal lembut dan sayang. Tak pernah sekalipun marah meski mereka sering menyusahkan. Namun sejak punya istri baru, Pak Ipung jadi berubah sekali. Kedua anak tersebut kemudian berhenti memakan nasi yang masih panas tersebut. Sekujur tubuh keduanya tiba-tiba berubah menjadi panas sekali. Mereka terpaksa membuka baju dan berlari ke arah sungai yang tidak jauh dari rumah. Keduanya lalu menceburkan diri ke dalam sungai untuk menghilangkan rasa panas di sekujur tubuhnya.

            Keduanya lalu berubah menjadi ikan pesut dan tidak pernah lagi kembali ke rumah. Pak Ipung hanya bisa menyesali perbuatannya setelah tahu kenyataan tersebut. Beribu maaf yang terucap mengiringi tangis penyesalan dirinya terasa percuma karena anak-anak tersebut tidak akan pernah lagi kembali menjadi manusia biasa.


Posting Komentar untuk "ASAL USUL PESUT MAHAKAM"