Mah Bongsu sering mencuci pakaian
sang majikan di sebuah sungai yang tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Nah,
pada suatu hari ketika ia sedang sibuk mencuci, muncullah seekor ular yang
terluka di punggungnya. Ular itu bergerak mengitari Mah Bongsu seolah-olah
memohon bantuan pengobatan sakit yang ia
derita. Karena iba, Mah Bongsu lalu membawa ular itu ke rumah dan mengobatinya
hingga sembuh. Rasa kasihan membuatnya berani memegang ular yang biasanya
membuat ia takut bukan kepalang.
“Mulai sekarang kau tinggal saja
bersamaku. Kebetulan aku hidup seorang diri. Kau bisa menjadi temanku agar aku
tidak kesepian lagi,”ucap Mah Bongsu pada sang ular yang diam memperhatikan
seolah mengerti ucapannya.
Sejak saat itu, Mah Bongsu telah
memiliki sahabat baru di rumahnya, meski hanya seekor ular yang diam tak bisa
bicara. Tapi itu sudah cukup membuatnya bahagia. Segala keluh kesah ia utarakan
pada ular sahabatnya itu sehingga pikirannya menjadi tenang kembali. Ular itu
juga ia rawat dengan baik. Diberi makan dan dibuatkan sarang berupa kotak yang
hangat dan nyaman. Ular lalu tumbuh menjadi besar dan sehat.
Dan sebagaimana ular pada umumnya
yang bisa berganti kulit. Ular peliharaan Mah Bongsu juga demikian. Kulit lama
dibuang untuk diganti dengan kulit yang baru. Mah Bongsu lalu mengumpulkannya
agar tidak berserakan lalu membakarnya di belakang rumah bersama sampah-sampah
lain yang berserakan.
Asap mengepul begitu tebal lalu terbang terbawa angin menuju ke negeri seberang Singapura. Sisa bakaran sampah ternyata meninggalkan setumpuk uang, emas, intan permata yang tidak sedikit jumlahnya. Mah Bongsu terkejut keheranan. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa syukur ia panjatkan berulang kali atas anugerah yang demikian besar.
Lain waktu setelah melakukan hal
serupa, asap hasil bakaran sampah kali ini tertiup menuju ke negeri Jepang.
Sisanya memunculkan bermacam perabotan rumah tangga produksi Jepang. Maka
setiap kali berganti kulit dan selesai dibakar, kejadian tersebut kembali
terjadi. Kali ini asap terbang menuju Lampung. Sisa pembakaran memunculkan
beragam jenis dan motif kain tapis yang merupakan kain asli Lampung.
Sejak saat itu, Mah Bongsu memutuskan
untuk berhenti bekerja di rumah Mak Piah karena kehidupannya telah jauh
berubah. Ia menjadi orang kaya baru di kampungnya. Orang-orang senang melihat
perkembangan baik tersebut. Namun ada juga yang iri. Salah satunya adalah Mak
Piah. Dan juga suami dan anaknya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa
Mah Bongsu, pembantunya kini jadi orang berada melebihi kekayaan mereka. Mereka
merasa aneh dan mencoba mencari tahu kenapa hal itu bisa terjadi. Apalagi
mereka tahu, Mah Bongsu tidak melakukan apa-apa selain bekerja membantu di
rumah mereka.
“Dia pasti memelihara pesugihan,”duga
Pak Buntal emosi.
“Ya benar sekali. Kalau tidak bagaimana
bisa orang yang jadi pembantu kita bisa dapat uang banyak seperti itu,” tambah
Mak Piah tak kalah dengkinya.
Hal itu ditambah dengan sikap Mah
Bongsu yang dermawan. Ia tak segan berbagi rejeki yang di dapat dengan orang
sekitar atau yang sedang kesusahan. Sikapnya tersebut membuat banyak orang
semakin suka. Tapi tentu saja tidak dengan Mak Piah dan warga lainnya yang iri
dengan kesuksesan Mah Bongsu.
Mereka lalu bekerja sama untuk
menyelidiki Mah Bongsu. Namun berhari-hari dihabiskan sia-sia karena Mah Bongsu
memang menjalani kehidupannya seperti manusia normal pada umumnya. Mereka
akhirnya menyerah dan berhenti curiga kecuali Mak Piah dan anaknya, Siti
Mayang.
Mereka terus berusaha hingga pada
suatu hari mereka melihat seekor ular sebesar paha manusia yang tinggal di
dalam rumah Mah Bongsu. Ular itu berganti kulit dan Mah Bongsu membakarnya
dibelakang rumah. Setelah selesai, Mah Bongsu mengumpulkan sejumlah barang
berharga di bekas pembakaran.
“Oh, jadi itu rahasianya? Sekarang
kita tahu darimana kekayaan Mah Bongsu berasal. Anakku, besok kita akan pergi
ke hutan untuk mencari ular seperti yang dimiliki pembantu jelek itu!”tukas Mak
Piah bertekad menjadi kaya seperti Mah Bongsu.
Keesokan harinya mereka pergi ke
hutan lalu pulang membawa ular berbisa. Ular itu lalu diletakkan di tempat
tidur Siti Mayang sehingga marah dan menggigit gadis malang tersebut hingga
meninggal dunia.
Sementara di rumah Mah Bongsu, ular
kesayangannya berkata,”Mah Bongsu bisakah kamu mengembalikan aku ke tempat
dimana kita pertama kali bertemu dulu? Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Mah Bongsu yang terkejut bukan main
karena ternyata ular peliharaannya bisa berbicara lalu membawa ular tersebut ke
tepi sungai tempat mereka dulu bertemu. Disana sang ular lalu berubah menjadi
pemuda tampan rupawan. Badannya tinggi besar gagah sekali. Sang pemuda lalu
melamar gadis baik hati yang selama ini merawatnya itu dengan penuh kasih
sayang. Setelah lamarannya diterima ia melempar
kulit ular jelmaannya ke samping rumah Mah Bongsu dan berubah bangunan besar
megah bagai istana.
Mereka lalu menikah dan hidup bahagia selamanya.
Sementara sungai tempat mereka bertemu tersebut, oleh masyarakat diberi nama
Sungai Jodoh. Nama tersebut untuk mengenang kisah pertemuan keduanya yang lalu
berjodoh menjadi sepasang suami istri.
Posting Komentar untuk "ASAL USUL SUNGAI JODOH ( Cerita Rakyat Riau)"