Dahulu, di Provinsi Kepulauan Riau, ada sepasang suami istri yang menguasai Pulau Subi. Namanya Datuk Kaya dan istrinya, Cik Wan. Anaknya bernama Nilam Sari. Dia gadis yang sangat cantik dan halus budi pekertinya. Namanya tersohor hingga ke negeri seberang. Banyak yang ingin meminangnya atau di jadikan menantu. Salah satu diantaranya adalah Permasuri dari Kerajaan Palembang. Beliau ingin Nilam Sari menikah dengan putranya, Pangeran Demang Aji Jaya.
Untuk mewujudkan impiannya tersebut, maka Permaisuri mengirim utusan untuk
melamar sang putri. Mereka menghadap Datuk Kaya dan menyampaikan baik-baik
maksud dan tujuan kedatangan mereka. Setelah terjadi percakapan yang cukup
hangat dan dalam, akhirnya Datuk Kaya mengutarakan isi hatinya.
“Aku setuju dengan lamaranmu. Acara pernikahan akan dilaksanakan pada
tanggal 10 Safar nanti. Jadi silahkan kalian datang lebih awal sebelum jadwal
tersebut,”jawab Datuk Kaya dengan wajah berseri-seri karena sebentar lagi akan
memiliki besan seorang raja. Itu berarti kedudukannya akan semakin naik di mata
masyarakat. Ia akan menjadi orang yang sangat terhormat dan disegani.
Beberapa hari sebelum pesta pernikahan, ia mengerahkan segala daya upaya
untuk mensukseskan acara tersebut. Ratusan orang datang untuk membantu
mempersiapkan tempat pernikahan dan memasak hidangan yang akan disajikan. Nasi
dimasak demikian banyak untuk memenuhi kebutuhan para tamu yang diperkirakan
akan datang dalam jumlah besar. Segala jenis hiburan dipersiapkan untuk
memeriahkan suasana.
Rombongan dari Kerajaan Palembang lalu berangkat tiga hari sebelum acara.
Mereka mengerahkan sejumlah kapal untuk membawa rombongan. Celakanya, cuaca
tidak mendukung. Ombak dan badai datang. Kapal-kapal terombang-ambing di
samudera biru yang kini terlihat sangat menyeramkan. Untuk menghindari keadaan
yang lebih buruk, mereka memutuskan untuk berlindung di teluk Pulau Kiabu
hingga cuaca kembali normal.
Akibatnya kedatangan mereka terlambat. Rombongan tiba di lokasi pernikahan
tiga hari setelah jadwal yang telah disepakati bersama. Datuk Kaya dan istrinya
bertengkar hebat menyikapi hal demikian. Sang istri masih mencoba memahami
situasi yang tengah terjadi. Namun tidak dengan Datuk Kaya. Ia kecewa sekali.
Apalagi sekian banyak hidangan yang disiapkan kini telah basi semua.
“Kita ganti saja dengan yang baru, Suamiku. Malu kita kalau memberikan
hidangan basi kepada tamu sebanyak ini,” usul Cik Wan.
“Tidak usah! Biarkan mereka makan hidangan basi itu. Salah mereka sendiri
kenapa datang terlambat. Hukuman itu pantas untuk orang yang sudah ingkar
janji. Dikiranya mudah apa mempersiapkan acara sebesar ini,”jawab Datuk Kaya
semakin emosi. Ia tidak habis pikir kenapa sang istri masih mau membela orang
yang jelas-jelas telah bersalah.
Perdebatan itu terus terjadi hingga akhirnya Datuk Kaya menjatuhkan talak
tiga kepada istrinya. Ia sudah tidak dapat membendung emosinya lagi hingga
menjadi gelap mata. Lebih baik ia bercerai saja. Ia mengambil nasi basi yang
ada dihadapannya lalu membuat garis panjang yang memisahkan dirinya dengan sang
istri.
“Perceraian kita dibatasi oleh garis dari nasi basi ini. Kau tidak boleh
melewatinya. Begitu juga aku!”ucap Datuk Kaya dengan nada tinggi.
Selesai berucap, alam seperti mendengar sumpah Datuk Kaya. Kilat dan petir
menyambar dengan kerasnya. Angin kencang disertai hujan lebat tiba-tiba turun
dengan derasnya. Tanah lalu terbelah menjadi dua sesuai dengan garis yang
dibuat Datuk Kaya. Disebelah selatan menjadi Pulau Subi besar milik Datuk Kaya,
sedangkan di sebelah utara menjadi Pulau Subi kecil milik Cik Wan, istrinya.
Kedua pulau itu dipisahkan oleh sebuah selat yang oleh masyarakat diberi nama
Selat Nasi. Nama itu untuk mengenang segala perbuatan Datuk Kaya yang menghambur-hamburkan
nasi basi akibat emosi yang tak terkendali.
Posting Komentar untuk "LEGENDA SELAT NASI"