Dahulu, jarak antara langit dan bumi sangatlah dekat. Kita bisa menempuhnya cukup dengan menaiki gunung atau perbukitan. Nah, di daerah Kalimantan Tengah, ada gunung tinggi berbatu tempat naik turunnya sepasang mahluk raksasa di langit. Namanya Puruk Sanukui.
Garahasa dan Garahasi
adalah nama raksasa tersebut. Mereka ingin sekali turun ke bumi melalui Puruk
Sanukui. Kehadiran mereka pasti akan membuat gempar para manusia yang tinggal
di bumi. Mereka pasti ketakutan lalu lari tunggang langgang mencari tempat aman
untuk bersembunyi.
Tentu saja hal tersebut
membuat Ranying Hatala Langit marah lalu memerintahkan panglima perangnya, Raja
Tunggal Sangumang, untuk turun ke bumi melindungi manusia. Ia akan ditemani
oleh Patahu (roh halus) dan Darung Bawan.
“Panglima yang perkasa,
kali ini aku perintahkan kau turun untuk melindungi manusia bumi. Pergilah ke
Desa Tumbang Pajangei. Temuilah Rambang, Sangen dan Ringkai. Bekerjasamalah
dengan ketiga pemuda itu!”titah Ranying Hatala Langit.
Tidak berapa lama mereka
tiba di Desa Tumbang Pajangei. Mereka lalu bertemu dengan ketiga pemuda yang
pemberani. Selain itu ada juga para ketua adat dan tokoh masyarakat yang ada di
desa tersebut. Mereka berembuk untuk mencari cara yang tepat agar bisa
melenyapkan Garahasi dan Garahasa.
“Wahai Raja Tunggal
Sangumang, adakah rencana atau saran yang kau punya untuk kami agar bisa
mengalahkan kedua raksasa itu?”tanya Rambang cemas. Rupanya dia takut juga
dengan situasi yang ada saat ini.
“Menurutku kita tidak
sepadan dengan keduanya. Jika bertarung berhadapan pasti mereka yang menang.
Jadi alangkah baiknya jika kita cegah mereka jangan sampai turun ke bumi.
Caranya yaitu dengan menghancurkan tangga yang mereka gunakan ke bumi. Kita
harus bisa menghancurkan Puruk Sanukui,”jawab Raja Tunggal Sangumang dengan
penuh keyakinan akan pendapatnya.
Ternyata saran itu disetujui
oleh semua pihak. Mereka lalu bahu membahu membuat tangga untuk menebang Puruk
Sanukui. Tangga itu terbuat dari pohon besar dan kecil yang disusun rapih.
Setelah siap, merekapun mulai menghancurkan Puruk Sanukui. Setelah hampir tiga
hari lamanya bekerja, Puruk Sanukui tinggal separuh. Seharusnya Puruk Sanukui
sudah bisa tumbang. Nyatanya tidak. Itu karena ujungnya ternyata ditahan oleh
kedua raksasa.
“Minggir semua, biar aku
yang menyelesaikan pekerjaan ini!”seru Darung Bawan sambil menendang Puruk
Sanukui sekuat tenaga ke arah selatan. Puruk itu terhempas hingga ke muara
Sungai Katingan lalu diberi nama Batu Mandi. Sisa bongkahannya jatuh di Desa
Tumbang Manange. Bongkahan ini sangat mengganggu warga dan ikan-ikan yang hidup
di sana. Itu karena mereka jadi tidak bisa ke hilir maupun ke hulu.
Untungnya keadaan itu segera
teratasi setelah Raja Tunggal Sangumang dan Darung Bawan turun ke bumi untuk
melihat situasi terkini. Ditemani Rambang dan teman-temannya mereka berjalan
menyusuri sungai sambil mengunyah tebu.
Dan ketika melihat ada
bongkahan yang menghambat laju aliran Sungai Kahayan, Darung Bawan lalu turun
untuk mengangkat dan memindahkannya ke pinggir. Batu itu lalu diganjal dengan
dua ruas tebu tersisa serta beberapa batang suli. Itulah kenapa bongkahan batu
itu kini diberi nama Batu Suli.
Akhirnya berkat usaha tak
kenal lelah dari semua orang, manusia selamat dari raksasa Garahasa dan Garahasi.
Mereka tidak bisa turun ke bumi dan membuat kekacauan.
Posting Komentar untuk "LEGENDA BATU SULI ( Cerita Rakyat Kalimantan Tengah)"